blank
Ilustrasi/Litbang Kemendagri

Oleh: MA.Muhamadyah (Ketua Umum APPKSI)

DALAM sejarah kebijakan pungutan ekspor ( Levy) minyak sawit di Indonesia pungutan ekspor dengan metode tak langsung tersebut selalu ditempuh pemerintah. Padahal banyak studi yang membuktikan (Tomic dan Mawardi, 1995; Larson, 1996; Susila, 2004; Joni, 2012) bahwa kebijakanyang demikian merugikan industri perkebunan, petani sawit, dan Indonesia secara keseluruhan.

Kebijakan pungutan ekspor yang dilakukan secara tak langsung (specific-levy) akan menaikkan harga CPO dunia, namun menurunkan harga CPO/TBS domestik, sehingga menciptakan disparitas harga CPO dunia dengan harga CPO domestik.

Kebijakan yang demikian akan merugikan produsen CPO/TBS domestik, termasuk petani sawit yang ada pada 190 kabupaten di Indonesia. Industri biodisel domestik diperkirakan menikmati manfaat ganda yakni makin murahnya harga bahan baku (CPO) dan subsidi dari pungutan ekspor. Namun secara keseluruhan Indonesia dirugikan.

Sementara Negara eksportir minyak sawit dunia (selain Indonesia) akan menikmati manfaat termasuk perusahaan Indonesia yang bergerak pada industri minyak sawit di negara lain.

Berbeda dari kebijakan pungutan ekspor yang dilakukan dengan cara langsung (lump-sum levy) dan penggunaan dana pungutan untuk subsidi bunga kredit industri minyak sawit, merupakan kebijakan yang terbaik dan menguntungkan semua pelaku industri minyak sawit termasuk pemerintah.

Selain itu harga CPO domestik akan tertekan akibat pungutan ekspor. Dan akan makin tertekan jika harga CPO dunia melewati USD 750 dimana tarif BK mulai berlaku. Tekanan terhadap harga CPO/TBS domestik yang demikian tampaknya sulit diimbangi oleh peningkatan penyerapan CPO didalam negeri karena tambahan penyerapan CPO di dalam negeri tidak terlalu besar dibandingkan dengan produksi CPO dalam negeri.

Apalagi dengan diberlakukan pungutan ekspor pSecara nyata  industri hilir telebih industri biodiesel masih tetap menikmati tambahan manfaat (better-off) dari sebelumnya. Sementara produsen CPO/TBS harus menderita (worse-off) akibat kebijakan itu.

Mengacu pada pengalaman Indonesia tahun – tahun sebelumnya, nilai penurunan manfaat yang diderita produsen CPO/TBS lebih besar dari tambahan manfaat yang dinikmati industri hilir biodiesel  dan konsumen, sehingga secara keseluruhan Indonesia dirugikan (worse-off).

Dan Pihak lain yang menikmati kebijakan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia adalah negara eksportir minyak sawit selain Indonesia seperti Malaysia, Thailand, negara-negara Afrika termasuk perusahaan Indonesia (jika ada) yang berada di luar Indonesia. Kenaikan harga CPO dunia akibat pungutan ekspor Indonesia akan membuat negara-negara tersebut menikmati harga CPO dunia yang lebih tinggi.

Dengan menpertahan pungutan Ekspor CPO maka pemerintah secara tidak langsung sedang mematikan industri sawit petani sawit, hingga akhirnya akan menciptakan krisis ekonomi jika petani sawit  dan industri perkebunan sawit terus merugi berdampak pada kredit macet di perbankan nasional. Nah siap-siap saja krisis ekonomi terjadi.

Pungutan Levy Jadi Momok Petani Sawit

Pemerintah sedang berupaya membuka kembali ekspor CPO dan produk turunannya seiring terpenuhinya kebutuhan minyak goreng dalam negeri. Namun permasalahan yang belum usai sampai hari ini adalah pemberlakuan pungutan ekspor (levy).

Saat ini harga rata-rata CPO di USD 1.615 per ton dan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.103 /PMK.05/2022 akan dikenakan levy sebesar USD 200 dan bea keluar sebesar USD 280.

Pengenaan pungutan levy lebih dari 90% digunakan untuk subsidi program biodiesel.. HIP BBM per bulan Juli 2022 sebesar Rp 15.118/lliter, sedangkan HIP BBN sebesar Rp 11.070/liter, artinya saat ini harga BBM lebih tinggi dari BBN, tidak diperlukan subsidi. Terkait itu pungutan levy memberatkan dan menekan harga CPO dan TBS, perlu dihapus agar tidak memberatkan Petani

(MA.Muhamadyah adalah Ketua Umum APPKSI)