blank
Sesepuh Trah Ny Sri Rahayu Suroso peduli membagi-bagikan uang fitrah kepada saudara-saudaranya dan kepada para hadirin yang hadir dalam acara halalbihalal.

SUKOHARJO (SUARABARU.ID) – Ibadah puasa sebulan penuh di Bulan Ramadan telah dilaksanakan. Demikian halnya dengan Shalat Idul Fitri 1443 H. Kini giliran menggelar acara halalbihalal.

Ada pemahaman yang menarik, halalbihalal tidak sekadar untuk media maaf-memaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Tapi dapat dijadikan sebagai media ruwatan (menghilangkan) Senthek Kliwer (lilitan kesialan).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Halalbihalal dipahami sebagai maaf-memaafkan. Dilakukan dalam forum pertemuan silaturahmi pada Bulan Syawal.

Ada banyak versi mengenai sejarah dimulainya halalbihalal. Adalah Kiai Somdani dari Surakarta secara tegas menyatakan, yang menciptakan halalbihalal adalah Pangeran Sambernyawa atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.

Pendiri Dinasti Mangkunegaran di Surakarta, Jawa Tengah, ini memiliki nama kecil Raden Mas (RM) Said. Pahlawan Nasional Indonesia ini, terlahir dari pasangan bangsawan Pangeran Arya Mangkunagara dengan Raden Ayu (RA) Wulan.

Sambernyawa

Lahir 7 April 1725 di Kartasura dan wafat Tanggal 23 Desember 1795 di Surakarta. Memegang tahta kekuasaan dari Tanggal 28 Desember 1757 sampai 23 Desember 1795 (selama 37 tahun).

Setelah sebelumnya, sejak berusia 16 tahun dia tampil memimpin Perang Sambernyawan melawan ketidakadilan keraton dan penjajah Belanda. Sebutan Sambernyawa, karena terkenal mengembangkan Perang Jejemblungan (gila-gilaan) dan berhasil banyak membunuh musuh.

Meski, bukan berarti tidak pernah kalah dalam melaksanakan pertempuran. Pernah dikisahkan, beberapa kali dalam pertempuran mengalami kekalahan. Ini yang kemudian membuat Pangeran Sambernyawa introspeksi diri.

Bersamaan datangnya perayaan Idul Fitri, seluruh bala prajuritnya diperintahkan untuk pulang guna meminta memohon maaf dan sungkeman (minta restu) kepada orang tuanya masing-masing. Sebelum kemudian untuk meneruskan perang lagi.

blank
Drs Sudarmo MPd (berdiri kanan) menyampaikan ikrar permohonan maaf dalam acara halalbihalal di rumah sesepuh trah Suroso-Sri Rahayu, Kampung Pokakan Kota Sukoharjo.

Momentum itulah yang menandai lahirnya halalbihalal. Yang kemudian, itu ditradisikan di lingkungan keraton dan dikembangkan di masyarakat sampai sekarang. Sejarah mencatat, Bung Karno pernah menghadiri tradisi sungkeman Idul Fitri Tahun 1930 di Keraton Surakarta.

Budayawan Jawa peraih anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM, mengatakan, halalbihalal merupakan tradisi saling maaf-memaafkan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Yang kemudian, tradisi itu berkembang ke seluruh wilayah Indonesia, setelah Bung Karno biasa menggelarnya di Istana Jakarta.

Lilitan Sial

Dalam Buku Bauwarno Adat Tata Cara Jawa, Yayasan Surya Sumirat Jakarta Tahun 2000, Karangan Drs R Harmanto Bratasiswara, halalbihalal disebutkan sebagai acara maaf-memaafkan yang dilakukan pada Lebaran Idul Fitri.

Acara ini, digelar di lingkup kampung, di tempat kerja perkantoran pemerintah maupun lembaga swata, di komunitas masyarakat tertentu dan di kalangan trah (keluarga besar).

Sebagaimana yang dilakukan Selasa (3/5), dua trah dari Suta Hatnyana dan Jipar Mispono Padmo Wardoyo, menyatu menggelar halalbihalal di rumah sesepuhnya, yakni di kediaman Suroso-Sri Rahayu, di Pokakan Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo.

Tampil menjadi MC, Mantan Kepala Diparpora Wonogiri, Sentot Sujarwoko, yang anggota trah. Pemandu doa dibawakan H Marsan SPd. Lazimnya dalam acara halalbihalal, disampaikan ikrar permohonan maaf. Yang dalam kesempatan tersebut disampaikan oleh Drs Sudarma MPd (wakil Trah Suta Hatnyana) dan Budayawan Suseno (wakil Trah Jipar Mispono Padmo Wardoyo).

Dalam penyampaian ikrarnya, Budayawan Suseno, mengemukakan, halalbihalal tidak sekadar bermaaf-maafan. ”Tapi juga dapat untuk sarana membuang Senthek Kliwer (lilitan aura sial),” jelasnya.

Bambang Pur