Oleh: Dr. KH. Muchotob Hamzah, MM
ADA khilafiyah mengenai awal turunnya Al-Qur’an, jumhur menguatkan malam tanggal 17 Ramadan (QS. 2: 185). Wahyu yang turun ketika itu adalah perintah membaca, bukan perintah salat atau lainnya (QS. 96: 1-5).
Al-qur’an artinya “bacaan sempurna” dengan karakternya yang utuh dan komperehensif (QS.15: 91), Kalam pemutus (QS. 86:13), Kalam yang jauh dari main-main (QS. 86: 14), Syifa’ (isim nakirah=obat penawar segala deviasi kehidupan (QS. 17: 82), Kalam eksis sampai hari kiamat (HQR, ‘Iyadh al-Mujassyi’).
Kesempurnaan Al-qur’an itu bersifat global untuk segala aspek kehidupan. Maka ia sendiri memerintahkan agar dipahami via Sunnah Nabi SAW, ijtihad seperti rasio kolektif berupa ijma’ dan rasio ahli seperti qiyas. Hal ini agar setiap kasus hukum tetap ada cantolan dari syari’ah dan tidak sekularistik.
Al-qur’an dan Akal
Tanpa disadari sepenuhnya, bahwa semua manusia berakal sering bertanya tentang tiga kuis ini. Pertama, apakah impian hidup kita?=Visi hidup. Kedua, untuk apakah kita hidup=misi hidup? Dan ketiga, bagaimana cara menggapai impian hidup?= direksi atau guidensi hidup.
1. Visi hidup
Impen (Jw.)=impian itu harus tinggi dan mengawang (visionair) tetapi dapat dijangkau (visibel). Bagi seorang yang berjiwa qur’ani pasti pernah membaca doa sapu jagad;
ربنا اتنا فى الدنيا حسنة و فى الاخرة حسنة وقنا عذاب النار.
Artinya: Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan hidup di dunia, dan kebaikan hidup di akhirat… (QS.2: 201).
Doa ini bukan hanya berpahala, tetapi sekaligus sebagai visi hidup yang mensoklai dan memandu arah hidup. Sudah baikkah ibadah untuk keduniaan kita sehingga patut mendapatkan kebaikan dunianya? Sudah mukhliskah ibadah keakhiratan kita sehingga patut menggapai surga-Nya? Kalau kedua atau salah satunya belum baik, visi hidup kita belum akan tercapai.
2. Misi hidup
Misi hidup bagi jin dan manusia ada dua. Pertama, ibadah (QS. 51: 56) dan kedua khilafah (QS. 2: 30). Jika merujuk kepada doa tersebut, maka itu adalah ikhtiyar simultan dari ibadah mahdhah sebagaimana rukun Islam dan ibadah ghairu mahdhah yaitu khilafah.
Ibadah mahdhah sifatnya rigid dan saklek, sedangkan ibadah ghairu mahdhah dalam hal ini khilafah dengan segala ikutannya, bersifat longgar dan bisa mengadopsi hal baru yang pastinya tidak bertentangan dengan syari’ah itu sendiri.
Contoh dalam misi politik, umat boleh bercara baru dan diperbarui, selama hal itu memenuhi asas keadilan, kesetaraan, musyawarah, kemerdekaan dan sebagainya.
Begitu pula sistem ekonomi yang berkeadilan, kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan nilai keislaman, saintek yang bermanfaat dan lainnya. Itu semua boleh!
3. Guidensi/Direksi hidup
Untuk menggapai visi dan melaksanakan misi hidup, jin dan manusia memerlukan petunjuk. Ibarat barang pabrikan, untuk menggunakannya diperlukan Direction for Use, atau Guidensi hidup.
Sebelum itu Allah SWT telah memberikan hidayah kepada jin dan manusia berupa hidayah ghariziyah (naluri), hidayah hawasiyah (indrawi), dan hidayah aqliyah (akal). Karena hidayah tersebut terbatas pada pengemban visi-misi, maka diberi oleh-Nya hidayah diniyah (agama) dan hidayah taufiq.
Itulah pula Al-qur’an diturunkan dalam tiga fungsi utamanya (QS. 2: 185), yaitu
A. Hudan linnaas= petunjuk universal pada manusia yang mereka tak pernah akan tahu seperti kehidupan setelah mati dan seterusnya.
B. Wa Bayyinaatin minal hudaa= penjelasan-penjelasan dari petunjuk seperti naluri bertuhan dan lainnya.
C. Al-Furqan=pembeda antara haq dan hoak atau bathil.
Jika jin dan manusia mampu mengemban visi dan misi di atas via guidensi Al-qur’an, maka Allah SWT kabulkan doa mereka untuk sukses dunia dan akhirat.
Persoalan kita adalah penguasaan kita terhadap pemahaman Al-qur’an. Banyak orang yang gethol mau kembali kepada Al-qur’an, tetapi menggampangkannya tanpa perangkat sanad ulumut-tafsir. Akibatnya bisa kita lihat. Rusak dan merusaklah pemahamannya itu.
Wallaahu A’lam bis-Shawaab!
Dr. KH. Muchotob Hamzah, MM
Ketua Umum MUI Kabupaten Wonosobo.