Ini menjadi bagian dari kegiatan pembelajaran outing class. Diawali dengan jalan kaki bersama berjarak sekitar 300 Meter (M) dari sekolahnya, para murid membawa serta ember dan piranti kain lap.
Tiba di Masjid Agung yang legendaris itu, mereka kemudian resik-resik menyapu lantai, mengelap tiang, bedug dan kentongan. Baru kemudian dilanjutkan mengepel lantai dengan menggunakan alat pel milik masjid.
”Saya Senang, meski di rumah belum pernah ngepel,” tutur siswa Kelas 5 Aditya. Beda dengan Muhammad Naufal, dengan nada ceria dia berkata: ”Wuih ini seru banget, ternyata ternyata ngepel bersama-sama teman menyenangkan sekali.”
Para murid mendapatkan pendampingan dari Guru Sri Handayani. Kerja bakti menyambut Ramadan, tandasnya, mengajarkan edukasi perlunya kerjasama dan gotong-royong sejak usia dini.
Menjadi Tradisi
Acara ini diprakarsai oleh Presiden Aeng-Aeng, Mayor Haristanto. Tokoh kreatif Kota Bengawan penerima 31 anugerah pemecahan rekor dunia dari MURI ini berkata: ”Ini telah menjadi tradisi setiap menyambut Ramadan, sudah digelar sejak Tahun 2007,” tuturnya.
Masjid Agung Surakarta pada masa pra-kemerdekaan adalah masjid agung milik kerajaan, dan berfungsi selain sebagai tempat ibadah juga sebagai pusat syiar Islam bagi warga kerajaan. Masjid Agung ini dibangun oleh Sunan Pakubuwono III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.
Termasuk kategori Masjid Jami’ digunakan untuk salat berjamaah dengan jumlah makmun yang banyak. Sebagai masjid kerajaan, masjid ini juga berfungsi mendukung segala keperluan kerajaan yang terkait dengan keagamaan, seperti ritual gerebeg, sekaten dan Maulid Nabi.
Raja (Sunan Paku Buwono) Surakarta berfungsi sebagai panatagama (pengatur urusan agama) berkenan mengangkat semua pegawai masjid menjadi abdi dalem keraton, dengan gelar seperti Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (untuk penghulu) dan Lurah Muadzin untuk juru adzan.
Bambang Pur