blank
Kepala BKKBN Dr. (H.C). dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG. (K) menggendong bayi dan berbincang dengan seorang ibu di Timor Tengah Selatan. Foto: Ist

SOE, TIMOR TENGAH SELATAN – Selalu ada sapa “selamat pagi” dari para pelajar sekolah di Soe, jika kita berpapasan dengan mereka di pagi hari. Ramah, dan menyungging senyum di antara deretan gigi putihnya.

Mereka berjalan menyusuri jalanan lengang di Soe dengan melintas pekarangan rumah yang penuh dengan tanaman sayur menuju sekolahnya masing-masing. Jika dilihat secara kasat mata, kerap dijumpai pelajar yang memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan umur mereka.

Kota Soe, seperti halnya daerah-daerah lain di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Nusa Tenggara Timur lainnya memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Bahkan angka prevalensi stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 mencapai 48,3 persen, paling tinggi di Nusa Tenggara Timur.

Dipilihnya Timor Tengah Selatan pada khususnya dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya dalam kunjungan Presiden Joko Widodo kali ini memperlihatkan “perhatian penuh” untuk penanganan persoalan angka stunting yang tinggi.

Berdasarkan data SSGI 2021, NTT masih  memiliki 15 kabupaten berkategori  “merah”.  Penyematan status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen.

blank
Kemiskinan penduduk di Timor Tengah Selatan tampak dari ketersediaan air dan jamban. Inilah yang menjadi perhatian Presiden Jkowi, karena kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab stunting. Foto: Ist

Ke-15 kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Bersama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara memiliki prevalensi di atas 46 persen.