blank
Para narasumber sedang menyampaikan pemikirannya di Gedung Pers Jalan Trilomba Juang Semarang. Foto: dok

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Ketua PWI Jateng Amir Machmud NS menilai, tantangan yang dihadapi media siber saat ini adalah munculnya ideologi baru dalam berjurnalistik. Amir menggambarkan konten digital saat ini memiliki dua wajah yaitu wajah “malaikat” dan wajah “iblis”.

Konten berwajah ‘malaikat’ ini diasumsikan yang sesuai fungsi pers sesuai UU 40/1999 yaitu sebagai memberikan informasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial. Sebaliknya, wajah ‘iblis’ diterjemahkan sebagai konten yang berfungsi bisnis dan berorientasi viralitas yang menabrak nilai-nilai berjurnalistik dan bermedia.

Amir mengungkapkan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam Webinar Tantangan Media Siber di Masa Kini dan Masa Mendatang yang digelar secara hybrid (luring dan daring) di Gedung Pers, Semarang, Senin (21/3).

”Dua wajah sebenarnya sudah kita perkirakan, kita duga. Ada perlombaan yang mempengerahui  struktur media, tapi tak terbayangkan menjadi  ideolagi baru yaitu ideolagi viralitas. Pemahaman budaya pop dan keinginan memunculkan faktor pembeda, yang menyebabkan seolah-olah boleh mengabaikan mutu, menabrak nilai-nilai  dan demi konten yang viral,” kata dosen jurnalistik di sejumlah perguruan tinggi itu.

Webinar yang digelar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jawa Tengah ini juga menghadirkan pembicara Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Undip Rouli Manalu PhD, GM Network Service Assurance Jateng dan DIY PT Telkomsel Eko Prasetyo, Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun serta dimoderatori Ketua SMSI Jateng Agus Toto Widyatmoko.

Ratusan peserta terlibat dalam webinar ini yang didukung penuh oleh Telkomsel dan mendapatkan apresiasi dari PWI Jateng dan Dewan Pers. Ketua Umum SMSI Pusat Firdaus juga memberikan arahan dalam webinar ini.

Diakui Amir, saat ini banyak pihak berada dalam kebimbangan, apakah nilai-nilai jurnalistik masih bisa dipertahankan dalam dunia media digital saat ini. Pada realitasnya, teori jurnalistik ataupun standar-standar memperoleh informasi melalui proses verifikasi sudah terabaikan.

“Model-model copy paste dan merakit isu-isu melalui status FB dan cuitan Twitter saat ini seolah-seolah sudah menjadi produk jurnalistik. Ruang-ruang bisnis demi konten vitralitas sudah memenuhi dunia digital kita. Semua the show must go on. Nyatanya pernyataan seksi memang  lahir dari status FB dan cuitan Twitter,” ujarnya.

Dia juga menyoroti bagaimana tren jurnalistik saat ini seragam dengan konten pindah agama, memfasilitasi body goals perempuan dan memasuki ruang-ruang privat rumah tangga.

”Sudah saatnya kita kembali ke wajah ‘malaikat’ dan memegang teguh Kode Etik Jurnalistik agar bisa menjaga dari segala bentuk pertikaian akibat eksploitasi SARA,” kata penulis buku dan penyair ini.

Pertarungan Digitalisasi

Di bagian lain Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Rouli Manalu, memberikan perspektif yang berbeda. Dia menyebut tantangan industri media tidak hanya di Indonesia saja, namun dunia industri pers secara universal.

Tantangan media , kata dia, dimulai dari pandemi Covid-19, digitalisasi yang memunculkan pertarungan antara platforms dan publisher dan polarisasi politik dan sosial yang di dalamnya terjadi misinformasi, disinformasi dan malinformasi.

”Pertarungan ini mempengaruhi pengaruh iklan. Iklan digital  sekarang sudah tak ditangan publishers, tapi menjadi milik platforms. Ini yang mendikte media dalam berpraktik. Tantangan selain polarisasi adalah kebijakan regulasi, dan generational change,” bebernya.

Dia juga memaparkan hasil penelitian Tow Center of Journalism (Columbia Journalisme School) yang dituangkan dalam buku The Platform Press How Silicon Valley Reengineered Journalisme. Dalam penelitian itu menyebutkan jurnalistik berada di gelombang ketiga dengan ditandai perpindahan informasi dari komputer desktop ke layar kecil smartphone, lalu ekosistem yang didominasi oleh sejumlah kecil perusahaan platform yang mempengaruhi luar biasa.

Saat ini, kata Rouli, pembaca mengonsumsi media bukan dari perushaan media tapi platform digital (termasuk media sosial), serta tech companies menguasai 80 persen ads.

”Ekosistem informasi sekarang mendelegasikan ke media sosial. Perusahaan media sekarang seperti membangun rumah di kapling orang lain. Kenapa? Semua bergantung pada platform. Editorial dan trending topic tergantung ke sana. Kita tak tahu siapa pembaca, kita hanya mendapatkan laporan dari Google Analytics. Virality merupakan hal yang utama, padahal itu bukanlah informasi yang sesuai dengan metode jurnalistik,” katanya.

Di bagian lain, Eko Prasetyo mengatakan bahwa internet saat ini menjadi kebutuhan utama. Internet telah menjadi gaya baru dalam berkomunikasi yang dimanfaatkan untuk juali beli, mencari lokasi, bertransaksi, melakukan personal branding, dan lain-lain.

blank
Tangkapan layar suasana Webinar Tantangan Media Siber di Masa Kini dan Masa Mendatang. Foto: Dok

Prinsipnya sekarang berada di era digital yang serba gadget dan internet yang dapat diakses oleh siapa saja, kapanpun, dimanapun, dan tanpa batas dan filter.

Dikatakan dia, untuk memagari banjirnya informasi yang menyesatkan, pihaknya berkoordinasi dengan Kemenkominfo.

Namun yang perlu diketahui, lanjut dia,  terkait konten negatif  melalui internet adalah mengenali  kabar yang ada di sekitar apakah masuk disinformasi, misinformasi atau malinformasi. Eko lalu membagi kiat bagaimana mengenali hoaks.

Di antaranya periksa alamat url atau website apakah kredibel atau tidak, periksa halaman website, periksa apakah ada kalimat yang menyuruh pembaca membagikan konten tersebut, lakukan cross check di Google berita spesifik yang ingin dicek serta cek kebenaran gambarnya di Google.

”Tantangan kita adalah bagaimana kita bisa membentengi dengan akses internet. Saatnya kita menjadi pembaca yang baik. Saya juga mendorong lahirnya konten-konten kreatif yang memotivasi’,” katanya.

Di bagian lain, Hendry Ch Bangun mengatakan, berdasarkan survei Dewan Pers tahun 2021, masyarakat cenderung mencari informasi dari media sosial, sedangkan media massa sifatnya untuk konfirmasi. Tantangan media digital lain adalah pendapatan iklan tradisional yang menyusut karena sebagian pendapatan iklan diambil oleh platform global produk Yahoo, FB, YouTube, Instagram, Twitter, TikTok dan Podcast.

”Perkembangan teknologi juga menjadikan masyarakat tak lagi mencari berita bukan berdasarkan brand, tapi topik dan tema yang menjadi pembicaraan,” katanya. Dalam materinya, Hendry juga mengupas seputar pedoman dan aturan dalam pemberitaan media siber.

Benang merah dari webinar adalah perlunya ada ketegasan dan komitmen bersama agar industri media siber kembali  ke fungsi pers, penggunaan internet secara bijak dan kreativitas dalam konten yang memberikan nilai manfaaat bagi masyarakat.

Kegiatan webinar yang berlangsung gayeng ini digelar dalam merayakan HUT ke-5 SMSI yang jatuh pada 7 Maret. Sebelum acara, diadakan pemotongan tumpeng dan doa bersama sebagai ungkapan rasa syukur.

wied