blank
Ada yang memakai dupa dan bunga untuk sarana kelengkapan memanjatkan doa saat melakukan ritual nyekar di Bulan Ruwah.

WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Tradisi nyekar bagi orang (Wong) Jawa, biasa memilih bulan baik. Yakni pada Bulan Ruwah (Sya’ban). Ini terkait keyakinan bahwa Ruwah dimaknai sebagai bulan Meruhi Arwah.

Dalam kalender, siklus Bulan Ruwah 1955 Tahun Alip Windu Sancaya berlangsung sejak Tanggal Tanggal 5 Maret 2022 lalu. Karena itu kini banyak orang (Jawa) yang nyekar atau nyadran ke makam para leluhurnya.

Buku Bauwarna Adat Tata Cara Jawa karya Drs R Harmanto Bratasiswara, terbitan Yayasan Surya Sumirat Jakarta-2000, menuliskan, tradisi Nyekar Ruwahan di Bulan Sya’ban, merupakan upacara penghormatan kepada para arwah leluhur atau keluarga yang sudah berpulang.

Budayawan Jawa penerima Anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM, menyatakan, berdasarkan kepercayaan Kejawen, ritual Nyekar Ruwahan lazim dilakukan sejak pertengahan sampai dengan akhir Bulan Ruwah.

Rentang waktu tersebut, dinilai sebagai tempo yang tepat untuk menjalin hubungan spiritual mengadakan Pamulen (penghormatan) untuk para roh arwah leluhur.

KRA Pranoto Adiningrat yang juga Abdi Dalem Keraton Surakarta ini, menyatakan, untuk melakukan Pamulen, biasa ditandai dengan melakukan ritual Nyekar. Yakni menaburkan bunga ke pusara makam para leluhur, atau ke nisan kubur keluarga yang sudah berpulang.

”Disertai pemanjatan doa, untuk memintakan ampunan segala dosa dan kesalahan para leluhur,” ujarnya. Harapannya, setelah para roh arwah leluhur diampuni dosa dan kesalahannya, diberikan anugerah dapat diterima kembali ke Alam Gusti Murbeng Dumadi, atau masuk dalam Kaswargan Jati.

Ini sinergi dengan pemahaman keyakinan Mulih marang mulanira atau Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Kita ini milik Allah, dan kepada-Nya kita kembali). Sekaligus, ini mengingatkan kepada kita yang hidup, tentang kesadaran moral spiritual akan datangnya kematian.

Neptu Ganjil

Ritual Nyekar Ruwahan, ada yang disertai kenduri selamatan sebagai bentuk sedekah pada masyarakat di lingkungannya. Kenduri selamatan, ada yang digelar di Balai Pemakaman, yang kemudian lazim disebut Nyadran. Dalam kenduri selamatan tersebut, disertakan makanan Kolak, Apem dan Ketan, sebagai kelengkapan sesaji untuk memanjatkan doa permohonan.

blank
Bunga diperlukan sebagai kelengkapan dalam melakukan ritual nyekar di Bulan Ruwah. Dampaknya, harga bunga melambung dua sampai empat kali lipat dari biasanya.

Di beberapa desa di Kabupaten Wonogiri, sebelum melaksanakan ritual Nyekar, lebih dulu diawali kerja bakti bersih makam. Dilakukan secara guyub melalui gotong royong warga masyarakat.

Khusus di Pamijen (Pemakaman Keluarga atau Trah) atau di kuburan yang punya Juru Kunci, urusan kebersihan makam dilakukan oleh personel Juru Kuncinya masing-masing.

Budayawan Jawa Raden Tumenggung (RT) Purnomo Tondo Nagoro, menyatakan, sebagian orang Jawa memilih hari baik untuk melakukan ritual Nyekar. ”Memilih yang neptunya ganjil,” tutur RT Purnomo Tondo Nagoro yang Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta.

Itu erat kaitannya dengan penghitungan Kejawen tentang Gunung, Guntur, Segara, Asat. Hari neptu (nilai) hari ganjil jatuh pada hitungan Gunung atau Segara, yang diyakini memberikan tuah kebaikan.

Untuk memilih neptu hari ganjil, dasarnya pada hitungan hari dan pasaran-nya. Untuk neptu hari sebagai berikut: Jumat (6), Sabtu (9), Minggu (5), Senin (4), Selasa (3), Rabu (7) dan Kamis (8). Neptu pasaran, Kliwon (8), Legi (5), Pahing (9), Pon (7) dan Wage (4).

Contoh hari neptu ganjil seperti Kemis Pon (8+7 = 15), Jumat Legi (6+5 = 11) dst-nya. Bijaksana untuk tidak melakukan ziarah kubur pada hari Sabtu. Ini terkait dengan keyakinan yang tumbuh di Keraton Mataram Islam Tanah Jawa, yang pantang melakukan penguburan pada Hari Sabtu.

Bambang Pur