UNGARAN (SUARABARU.ID)– Desingan suara pecut (cambuk) dari beberapa lelaki yang mengenakan pakaian adat Jawa serba hitam kemudian diiringi dan disambut bunyi gamelan serta sinden yang melantunkan tetembangan Jawa. Sesaat kemudian, sejumlah anak muda mengenakan busana beraneka warna-warni beserta kuda lumping dengan rancak menyuguhkan tarian “Keprajuritan” masuk dalam ruangan.
Sebuah anyaman berbentuk kuda kecil terbuat dari bamboo kemudian mereka kibaskan ke kanan dan ke kiri sambil menghentakkan kaki ke lantai. Semakin lama, ritme musik menjadi cepat. Satu per satu penari pun mulai terlihat garang. Sejumlah atraksi diperlihatkan. Mulai berguling-guling di atas pecahan kaca, sampai pada suguhan memakan kaca dari sebuah bohlam listrik.
Itulah suguhan dari kesenian reog milik kelompok Langen Tulung Manunggal Budaya, Desa Mejing, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Minggu (30/1/2022). Mereka tampil dalam acara “Media Tradisional : Nguri-uri Kebudayaan Khas” di aula Kantor Kecamatan Jambu.
Sebelumnya kesenian Reog khas Kabupaten Semarang itu sempat dikupas oleh sejumlah narasumber yakni Supriyanto selaku Ketua Langen Tulung Manunggal Budaya, Dwi Hartanto selaku Pamong Kesenian Kecamatan Jambu, dan anggota Komisi B DPRD Jateng dr Sholeha Kurniawati.
Supriyanto menuturkan, kesenian Reog yang dikelolanya sebenarnya sudah turun temurun. Dia sendiri juga sempat menjadi penari Reog, selanjutnya untuk sekarang justru anak-anak muda di Desa Mejing yang meneruskan. Bahkan ada anak yang duduk di bangku SD sudah tertarik menjadi penari. Supaya tetap eksis, kelompok reog selalu mengisi sejumlah acara hajatan mulai dari merti dusun, khitanan sampai acara-acara yang digelar oleh kecamatan maupun kabupaten.
“Pada 2020 kemarin sampai 2021, kami tidak bisa berkesenian, tampil di muka umum. Penarinya tidak bisa menari, waranggananya juga tidak bisa apa-apa. Kalau seperti itu kami bekerja apa adanya, berkebun atau jadi buruh pabrik. Harapannya pada 2022 ini, kegiatan kesenian bisa hidup lagi,” ucapnya.
Dwi Hartanto membenarkan, kesenian Reog atau kuda lumping/jaran kepang hidup dari pergelaran dari satu tempat ke tempat lain. Kesenian mereka mengundang massa. Mengingat ada pembatasan kegiatan dan larangan berkerumun, otomatis kesenian ini harus “istirahat” dulu.
Di Kecamatan Jambu, lanjut dia, sebagai daerah ujung selatan Kabupaten Semarang yang berbatasan dengan Temanggung, bentuk keseniannya ada kesamaan. Para penari menyebar membentuk kelompok-kelompok tari, hingga pada akhirnya turun temurun sampai sekarang.
Sholehah Kurniawati mengakui Kabupaten Semarang memiliki corak kesenian yang beragam.
Meski sama-sama reog atau kuda lumping/jaran kepang, suguhannya berbeda-beda. Kesenian yang hidup di sekitar Rawapening akan berbeda dengan daerah di sekitar Gunung Merbabu dan Ungaran.
“Kami di DPRD Jateng prinsip mendukung segala bentuk kesenian. Hanya saja ada perda yang menyatakan setiap bentuk kesenian harus berbadan hukum. Ini menjadi kendala tersendiri bagi kelompok kesenian yang ingin mengusulkan bantuan. Kami mendorong para penggiat kesenian bisa mendaftarkan kelompoknya supaya ada perhatian dari pemerintah,” ucapnya.
Di akhir acara, Sholeha berharap banyak kesenian khas daerah supaya dipertahankan. Pemerintah daerah harus memberi ruang kepada penggiat kesenian untuk unjuk gigi, supaya bisa eksis.(ADV)