JEPARA(SUARABARU.ID) – Ki Subri Tejo Sasono, 78 tahun adalah potret pengabdi budaya Jawa yang setia. Sebab ia tidak ingin budaya leluhurnya itu kemudian hilang, terkikis perlahan oleh kemajuan zaman yang seakan tak terkendali. Di usianya yang kian renta, ia tak lelah menjaga budaya
Dari rumahnya yang kecil dan sederhana di RT 03 /RW 03 Desa Tubanan, Kembang, Ki Subri yang oleh kalangan seniman Jawa di Jepara dikenal sebagai pujangga Macapat ini telah menghasilkan puluhan karya sastra Jawa dalam bentuk tembang Macapat mulai Mijil hingga Megatruh yang sarat dengan nilai-nilai ajaran Jawa.
Dalam mencipta tembang Macapat, Ki Subri memegang teguh pakem tembang Macapat mulai bait kalimat yang disebut gatra, jumlah suku kata atau guru wilangan dan bunyi sajak akhir atau yang biasa disebut guru lagu.
Tembang ini kemudian diajarkan pada murid-muridnya atau siapapun yang mau datang dan belajar. Diantaranya tembang macapat Riwayat Jati, Piwulang, Pitutur, Laku Kautaman, Babad Desa Tubanan, Babaring Aksara Jawi, Munari, Tingkeban, AmbalWarso, Ratu Kalinyamat, dan bahwa PLTU Tanjungjati Maweng Kuncaraning Bongso. Macapat terakhir ini dibuat karena Ia lahir dan tinggal di Desa Energi Tubanan, Jepara.
Bukan hanya tembang, Ki Subri juga juga membuka pawiyatan luhur bagi siapapun untuk belajar : Moco Nulis Aksoro Jowo, Ngoko, Madyo, Inggil dan Kawi, Mocopatan,Wulang Reh Kautamanan dan Olah Roso.
“Semua kami berikan gratis sebagai bentuk pengabdian dan cinta saya pada budaya Jawa dan bangsa,” ujar Ki Subri saat berbincang dengan SUARABARU.ID dikediamannya yang teramat sederhana. Pawiyatan atau sekolah luhur itu dibuka setiap hari Sabtu. Ki Subri juga menjaga dan mengajarkan ritus – ritus budaya Jawa
Sayang apa yang dilakukan mbah Subri tidak lagi diminati oleh anak-anak, remaja dan pemuda. Hanya ada beberapa orang, termasuk sejumlah dalang yang bersedia mengikuti pawiyatan luhur yang dibuka Mbah Subri 25 tahun lalu.
Untuk wadah kegiatan yang dilakukan, Ki Subri memang mendirikan Paguyuban Mastuti Sagunging Kautaman (Mastika). Sementara ajaran Jawa yang diberikan antara Hasta Brata dan Hasta Dharma.
“Hasta brata ini terdiri dari 8 sifat yang baik dari surya, candra, kartika, hananda, samirana, bantala, dahana dan tirto. Jika sifat kebaikan ini dapat dilakukan secara utuh oleh para pemimpin disemua tingkatan, maka tata tentrem kerta raharja dapat diwujudkan,” ujarnya.
Sementara Hasta Dharma, adalah sifat yang baik yang dapat menuntun manusia yaitu sabar, nrima, welas, asih, eklas, ngalah, teman dan jujur. “Sifat-sifat kautamanan ini juga mengajarkan kebaikan pada siapapun untuk berbuat kebajikan pada sesamanya,” tuturnya.
Membuat Wayang
Kini dalam usianya yang semakin renta dan juga penyakit diabetes yang mulai dideritanya, Ki Subri masih saja setia pada panggilan jiwanya sebagai pengabdi budaya Jawa. Ia tidak menyesali pilihannya, jika kemudian tidak banyak yang memberikan perhatian dan bersedia membantunya merawat budaya bangsa yang adiluhung.
Untuk menopang hidupnya, Ki Subri sejak 4 tahun lalu mulai membuat wayang. Namun karena harga kulit mahal, Ia memilih membuat wayang dari terpal dengan harga sekitar Rp. 200 ribu / buah.
“Harapan kami, wayang ini bisa untuk memperkenalkan nilai adiluhung budaya Jawa terhadap anak-anak sekolah,” tuturnya. Sayang wayang ini juga kurang diminati oleh sekolah, tambahnya pelan sambil menatap wayang buatannya yang ditata berjejer di ruang tamunya yang terbuka.
Hadepe