blank
Tri Hutomo saat melakukan investigasi di Kemujan

JEPARA ( SUARABARU.ID) – Proyek ‘Stratup Island Karimunjawa’ dari PT LHI  diduga melanggar ketentuan dan tahapan proses perijinan. Padahal proyek yang ditawarkan melalui iklan oleh Warga Negara Asing (WNA) ini belum mengantongi ijin. Pemkab mestinya tidak membiarkan dan terkesan tutup mata.

Penegasan  tersebut diungkapkan  oleh Tri Utomo, DPD Kawali Kabupaten Jepara setelah melakukan investigasi terhadap proyek yang menurut penelusurannya akan dibangun diatas tanah seluas 3,5 ha di RT 03 / RW 03 Desa Kemujan, Karimunjawa tersebut. “Proyek ini diduga mengabaikan PP No. 51 Tahun 2016 Tentang Batas Sempadan Pantai,” ujar Tri Hutomo.

Menurut Tri,  dengan melihat bangunan pondasi yang sudah dibangun di kawasan itu sejatinya tidak dapat didirikan bangunan hotel yang permanen, karena kawasan itu berada dalam area sempadan pantai.

blank
Mengukur garis sempadan pantai

Dari pengamatan tim investigasiyang diturunkan oleh DPD Kawali, pondasi bangunan yang rencananya untuk pembangunan Hotel bintang 5, dalam kenyataannya hanya berjarak di bawah 100 meter dari pasang tertinggi. Dan itu berarti, masih termasuk di dalam area sempadan pantai. “Sementara menurut ketentuan surat keterangan tata ruang harusnya tidak boleh menutup akses masyarakat menuju dan dari pantai,” terang Tri Hutomo.

Namun kenyataan jika dilihat  dari bangunan pondasi ada kemungkinan akses publik ke pantai akan tertutup dan ada indikasi pagar bangunan yang saat ini sudah berdiri dibangun melebihi batas wilayah lahan milik PT.Hotel Levels Indonesia.

blank
Pengerjaan apartemen di Kemujan

Disamping itu, berdasarkan UU No. 1/2014 Pasal 17, disebutkan izin Lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Pemberian Izin Lokasi wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil serta kepentingan masyarakat, nelayan tradisional. Izin Lokasi diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.” Ungkap Tri Hutomo.

Oleh sebab itu DPD Kawali Jepara mempertanyakan apakah Pemerintah Pusat, Pemprov Jawa Tengah dan Pemkab Jepara dalam mengeluarkan izin lokasi, izin lingkungan, telah mempertimbangkan amanat UU Nomor 1 Tahun 2014 sebagaimana telah diuraikan diatas?

Namun demikian, Pemkab Jepara juga tidak boleh membiarkan atau selalu bersikap permisif bagi investor yang hendak membangun hotel atau gedung-gedung berbeton baik di kawasan pantai di wilayah Kab. Jepara dan Karimunjawa, yang jelas-jelas masuk dalam area sempadan pantai.

Menurut Tri, penerapan aturan sempadan pantai harus diberlakukan secara ketat bagi kawasan atau area yang belum terbangun, dan atau kawasan yang akan direncanakan akan dibangun. Itu pula berarti, bahwa Pemkab Jepara selayaknya tidak boleh memberikan Izin Lokasi atau IMB kepada pihak investor terutama di kedua kawasan itu.

Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Tengah dan Pemkab Jepara dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan pantai di wilayah Karimunjawa pada khususnya oleh pihak swasta menurut Tri Hutomo  adalah bagaimana mengutamakan kebutuhan dari para pemangku kepentingan utama.

Siapa itu pemangku kepentingan utama? Tak lain ialah masyarakat yang mempunyai kepentingan langsung dengan pantai itu. Lalu siapa masyarakat yang dimaksudkan itu? Pengertian masyarakat menurut UU meliputi masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional yang selama ini telah menjadikan pantai sebagai tempat rekreasi umum,

Karena itu menurut DPD Kawali Jepara, kebijakan ini perlu sedari awal dikoreksi secara bersama-sama oleh semua pihak, baik jajaran Pemkab maupun kita sebagai masyarakat Jepara. Sebab jika kita diam dan enggan mengoreksinya di awal, maka kita sesungguhnya tengah memberi beban kepada generasi yang hadir kemudian. Atau, kecuali jika kita sama-sama sepakat untuk langgar dan kencingi pada UU Nomor 1 Tahun 2014 ini.

Hadepe