Indonesia Cancer Care Community (ICCC) mencatat bahwa 10-15 persen kasus kanker paru merupakan tipe SCLC, yang diketahui lebih agresif serta dapat berkembang dan menyebar secara cepat ke bagian tubuh lainnya. Tipe kanker paru ini erat kaitannya dengan efek samping dari merokok. Sedangkan, sebagian besar kasus kanker paru di Indonesia merupakan tipe NSCLC, yang terbukti tidak seagresif SCLC serta cenderung berkembang dan menyebar secara lebih lambat.

“Merokok tentunya menjadi faktor risiko terbesar timbulnya kanker paru, yang bertanggung jawab atas lebih dari 80% kasus kanker paru di dunia. Kandungan berbahaya pada rokok dapat merusak sel paru-paru dan seiring berjalannya waktu bisa berkembang menjadi kanker. Perokok pasif juga berisiko terjangkit kanker paru. Ini sangat memprihatinkan mengingat tingginya jumlah perokok di Indonesia dan banyak pula orang yang terpapar asap rokok setiap harinya,” tambah Dr. Chin.

Covid-19 juga dapat meningkatkan risiko bagi pasien kanker paru karena virus tersebut berdampak pada organ pernapasan, sehingga dapat memperburuk kondisi pasien. Perkembangan sel kanker pun dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh yang melawan infeksi virus. Selain itu, perawatan kanker yang tertunda atau terhenti selama masa pandemi juga dapat menyebabkan risiko yang lebih tinggi bagi pasien.

Terobosan Medis

Berbagai studi dan uji klinis kanker terus dikembangkan selama 15 tahun terakhir. Saat ini, terapi target terbukti sebagai salah satu terobosan besar. Terapi target memanfaatkan obat-obatan untuk menargetkan gen dan protein tertentu yang berpengaruh pada pertumbuhan sel kanker. Terapi target sangat efektif untuk membunuh sel kanker dan memiliki efek samping yang lebih sedikit.

“Obat-obatan tertentu yang digunakan dalam pengobatan yang berfokus di pembuluh darah juga dapat mempengaruhi lingkungan jaringan yang memungkinkan sel kanker tumbuh dan bertahan hidup.,” ungkap Dr. Chin.

Selain terapi target, PCC pun menghadirkan metode perawatan lainnya kepada pasien kanker paru, seperti imunoterapi. Imunoterapi dikatakan mampu meningkatkan kesempatan hidup pasien kanker melalui manajemen perawatan jangka panjang.

“Imunoterapi bekerja dengan cara meningkatkan sistem kekebalan tubuh pasien, yang memungkinkan sistem kekebalan tubuhnya mengenali sel kanker dan menghancurkannya dari dalam. Saat ini, imunoterapi semakin banyak digunakan untuk mengobati pasien kanker stadium tiga dan empat,” tambah Dr. Chin.

Kasus-kasus imunoterapi sebelumnya pun membuktikan bahwa pasien tidak lagi mengalami kerontokan rambut maupun sakit kepala atau mual sebanyak terapi yang ada sebelumnya. Imunoterapi memiliki efek samping yang lebih rendah dan mudah ditoleransi oleh pasien. Sehingga, mampu meningkatkan tingkat kesembuhan pasien dan memberikan lebih banyak kesempatan bagi pasien untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Kanker tentu dapat mempengaruhi kondisi fisik dan mental pasien. Ditambah lagi dengan tantangan secara sosial dan finansial yang harus mereka hadapi, yang juga bisa berdampak pada keluarga dan orang-orang terdekat.

“Merawat pasien kanker juga berarti memahami segala kesulitan yang tengah mereka alami. Sehingga, seorang onkologi tidak dapat bekerja sendiri. Oleh karena itu, kami selalu dibantu oleh tim multidisiplin PCC yang terdiri dari para ahli dan profesional di bidangnya masing-masing, agar dapat memastikan perawatan yang lebih holistik bagi para pasien kami,” kata Dr. Chin.