blank

Oleh Sulismanto

Lomba menulis yang diselenggarakan oleh Dewan Pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Kabupaten Jepara patut diapresiasi. Apalagi dilangsungkan di tengah tuntutan makin meningkatnya profesionalitas dan mutu layanan aparatur.

Lomba ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan budaya literasi, sebuah budaya yang tidak jarang dilewatkan dalam pembahasan terkait profesionalisme dan peningkatan kinerja aparatur.

Padahal ketika ditempatkan sebagai tuas pengungkit pelayanan, literasi adalah budaya yang sangat efektif untuk membangun pemahaman aparatur, bahwa dirinya adalah abdi negara dengan tugas utama melayani masyarakat. Mengapa demikian?

Komponen utama yang membentuk budaya literasi adalah membaca, menulis, dan berpikir kritis. Mengajak aparatur yang notabene adalah anggota Korpri untuk menulis, berarti memaksa mereka banyak membaca. Bukankah sebuah tulisan yang baik, tak mungkin dilahirkan seseorang yang minat bacanya rendah? Selalu diperlukan luas wawasan dan sebanyak mungkin bahan pustaka untuk tulisan yang mendalam.

Sejalan dengan semakin tingginya minat baca, semakin luas pula wawasan dan pengetahuan seseorang. Pun demikian dengan kapasitasnya dalam berpikir kritis. Setiap orang dengan minat baca yang tinggi, mampu merekam sebanyak mungkin informasi.

Dia memahami perkembangan yang terjadi. Demikian pula dengan pemahamannya terhadap semua regulasi terkait tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang melekat pada diri dan unit kerjannya. Dengan demikian, dia memiliki pemahaman yang cukup terhadap tuntutan kerja dan profesionalitas layanan.

Pemahanan aparatur terhadap tupoksi yang ada, juga melahirkan kesadaran bahwa dirinya adalah abdi negara sekaligus abdi masyarakat. Bukankah muara dari seluruh tupoksi setiap satuan kerja adalah pelayanan kepada masyarakat?

Demikian pula dengan janji anggota Korpri yang tertuang dalam Pancaprasetya Korpri. Kesadaran sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang harus melayani, wajib tercermin dalam bentuk pelayanan profesional.

Menempatkan budaya literasi sebagai tuas pengungkit kinerja anggota Korpri, akan semakin mempercepat tercapaianya upaya pemerintah dalam meningkatkan kinerja aparatur. Karena peningkatan kinerja yang terlahir dari budaya literasi, akan bersinergi dengan seluruh sistem yang dibangun pemerintah dalam meningkatkan kinerja tersebut.

Ambil contoh strategi Kemenpan-RB dalam program akselerasi arsitektur human capital (modal manusia) bagi aparatur sipil negara (ASN) melalui strategi 6P, yang dilakukan demi mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Program 6P itu terdiri dari penguatan budaya kerja dan employer branding; percepatan dan peningkatan kapasitas SDM aparatur; peningkatan kinerja dan sistem penghargaan; pengembangan talenta dan karier; penguatan platform teknologi dan analitik; serta penataan jabatan perencanaan dan pengadaan. Betapa efektifnya program ini saat dijalankan di tengah kultur aparatur yang budaya literasinya kuat.

Sandingkan pula budaya literasi dengan core values atau nilai-nilai inti ASN, sistem nilai yang disarikan dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, yaitu Ber-AKHLAK. Nilai yang ditetapkan Presiden Jokowi ini merupakan akronim dari Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif. Ber-AKHLAK merupakan fondasi seluruh ASN berlandaskan Pancasila untuk mencapai visi-misi Indonesia Maju.

Sosok Teladan dan Rujukan

Budaya literasi, yang di antaranya bisa dibangun melalui lomba menulis, juga bisa menempatkan setiap anggota Korpri sebagai panutan, rujukan, dan tempat bertanya. Dia juga sekaligus menjadi sosok “langka” di tengah masyarakat. Lihatlah data minat baca masyarakat Indonesia hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019. Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara dalam tingkat literasi. Artinya, masuk 10 negara dengan tingkat literasi paling rendah. (https://perpustakaan.kemendagri.go.id/?p=4661).

Rasio bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia hanya 0,09. Artinya satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahun. Padahal Unesco menetapkan standar tiga buku baru per orang per tahun. Warga negara Asia Timur seperti Korea, Jepang, dan Tiongkok, rata-rata memiliki 20 buku baru. Betapa rendahnya kegemaran membaca masyarakat Indonesia.

Seseorang dengan budaya literasi yang kuat, berarti memiliki kemauan belajar yang tinggi. Dengan bekal itu, dia mampu mengikuti perkembangan zaman. Maka ketika sekarang dunia mengalami akselerasi perkembangan digital sedemikian cepat, lalu memunculkan istilah baru dalam dunia literasi, yakni literasi digital, mereka hampir bisa dipastikan tidak gagap menghadapinya.

Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan, dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, dan membuat informasi. Juga untuk memanfaatkan perangkat-perangkat tersebut secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum.

Literasi digital juga merupakan respons terhadap perkembangan teknologi dalam menggunakan media untuk mendukung masyarakat memiliki kemampuan membaca serta meningkatkan keinginan masyarakat untuk membaca.

Kompeten Menghadapi Hoaks

Mereka yang memiliki budaya literasi kuat, dengan bekal wawasannya yang luas serta sikap kritis dalam menyikapi informasi, hampir bisa dipastikan mampu mencari, mendapatkan, mengolah, dan menggunakan informasi dengan benar. Kompetensi ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi arus informasi yang demikian cepat di era media sosial (medsos), yang dipenuhi dengan berbagai berita hoaks. Era ini menuntut setiap pengguna medsos semakin berhati-hati dengan derasnya arus informasi.

Penulis kutip dari website resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI, sebanyak 90 persen berita bohong atau hoaks yang beredar di masyarakat, disebarluaskan secara sengaja melalui dunia digital. Hal ini dinyatakan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Widodo Muktiyo dalam webinar bertema “Literasi Pemuda Tangkal Hoaks di Masa Pandemi Covid-19” di Jakarta, Selasa (10/11/2020).  (https://www.kominfo.go.id/content/detail/30688/dirjen-ikp-90-persen-berita-hoaks-diedarkan-secara-sengaja/0/berita_satker).

Ada pihak-pihak yang dengan sadar ingin mengacaukan dunia digital. Itulah mengapa, saat ini kita mengenal influenzer (pemengaruh) dan buzzer (pendengung). Pihak-pihak inilah yang digunakan untuk mengacaukan dunia digital, apapun tujuan yang hendak dicapai.

Aparatur yang memiliki budaya literasi, termasuk literasi digital, mampu mengedukasi penggunaan internet sehat sekaligus menjawab setiap pertanyaan masyarakat mengenai mana berita yang terverifikasi dan mana berita hoaks. Bukankah itu juga bentuk pelayanan langsung kepada masyarakat? Pelayanan yang bisa diberikan oleh setiap aparatur, baik dia bertugas di unit kerja dengan tupoksi layanan langsung kepada masyarakat maupun tanpa sepesifikasi tupoksi tersebut.

Literasi digital juga memungkinkan aparatur, anggota Korpri, dan satuan kerjanya untuk memasuki dunia pelayanan baru, yakni pelayanan era medsos. Saat ini satuan kerja wajib memberi pelayanan digital, termasuk melalui media sosial dengan berbagai layanan kreatif dan inovatif. Aparatur juga diarahkan berinteraksi dengan masyarakat melalui medsos.

Di era medsos, aparatur dengan bekal budaya literasi yang kuat bisa mencerdaskan masyarakat dan memberi contoh sikap hati-hati menghadapi gempuran informasi. Informasi era digital yang dipenuhi hoaks itu, sangat rawan mengacaukan sistem dan tata nilai di tengah masyarakat jika semua diterima mentah-mentah.

Menurut Indonesian Digital Report 2021 yang dilaporkan oleh We Are Social, tingkat kepemilikan gawai di Indonesia hingga awal 2021 mencapai 125,6 persen, tepatnya 345 juta perangkat berbanding 274 juta warga. Lalu warga yang terkoneksi internet sudah mencapai 73,7 persen (202,6 juta). Sedangkan pengguna medsos, media yang dipenuhi berita hoaks itu, mencapai 61,8 persen (170 juta). Durasi penggunaan internetnya pun begitu lama, rata-rata 8 jam 52 menit per hari.

Jika aparatur, para anggota Korpri itu tidak memiliki benteng kuat budaya literasi, kemana masyarakat bertanya?

Penulis  adalah Anggota Korpri di Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Jepara dan Juara 1 Lomba Menulis HUT Ke-50 Korpri Tingkat Kabupaten Jepara untuk Kategori Anggota Korpri.