blank
Rachmawan Budiarto, Direktur Center for Development of Sustainable Region (CDSR) Pusat Studi Energi (PSE, Universitas Gadjah Mada). Foto: Dok/ist

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Mendorong pemanfaatan PLTS menjadi cara strategis pemerintah untuk mengejar target bauran energi terbarukan 23 % yang akan jatuh tempo 4 tahun lagi. Selain itu, regulasi yang mendukung dan kerjasama yang apik dengan berbagai pihak, terutama perguruan tinggi, akan memastikan setiap program PLTS dapat berjalan optimal.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menghitung kapasitas energi terbarukan dalam draft RUPTL terbaru hanya bertambah sekitar 9 GW, padahal untuk mencapai target 23% perlu tambahan 14 GW. Mencermati besarnya potensi PLTS Indonesia (207 gigawatt/GW menurut KESDM dan 20.000 GW menurut IESR) serta keekonomian PLTS yang semakin baik adalah tepat memprioritaskan pengembangan PLTS secara masif di Indonesia.

“PLTS dapat mengisi kekurangan ini. Harga semakin kompetitif, teknologinya memungkinkan pemasangan secara cepat, baik skala besar maupun skala kecil. Pencapaian target bauran energi terbarukan dapat tercapai dengan partisipasi masyarakat secara gotong royong. Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dapat mendorong percepatan tercapainya target dengan memasang PLTS atap dan mendorong pengembangan industri PLTS dalam negeri melalui penelitian dan pengembangan serta mempersiapkan mahasiswa,” ungkap Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa melalui rilisnya, Rabu (1/9/2021).

Baca Juga: 600 Pelajar di Semarang Lakukan Vaksinasi di Kampus Al Azhar Kalibanteng

Perguruan tinggi dapat berinovasi dalam membangun sistem dan kapasitas sumber daya manusia dan inovasi untuk mendukung pemanfaatan PLTS. Mitra Djamal, Rektor Institut Teknologi Sumatera – yang telah bekerja sama dengan perusahaan pengembang untuk membangun 1 MWp PLTS di kampus, memandang bahwa hal tersebut harus disertai regulasi yang mendukung dari pemerintah.

“Dukungan aturan dan keberpihakan dibutuhkan dalam upaya mempercepat kemajuan industri surya di Indonesia untuk menghasilkan produk yang kompetitif,” ujarnya.

Hasil kajian IESR bahkan menunjukkan bahwa 1 GWp dari PLTS Atap bisa menyerap hingga 30 ribu tenaga kerja di sektor pekerjaan hijau (green job). Potensi pekerjaan hijau menjadi angin segar bagi caloncalon tenaga kerja khususnya lulusan SMK dan/atau vocational school yang siap menjawab kebutuhan pasar.

Baca Juga: Ribuan Narapidana Lapas Semarang Ikuti Vaksinasi Kedua

Di sisi lain, Eko Adhi Setiawan, Direktur Tropical Renewable Energy Center, Universitas Indonesia menambahkan bahwa peran penting perguruan tinggi lainnya adalah menyuarakan pandangan objektif terhadap pengembangan PLTS di Indonesia dan mendorong kontribusi masyarakat.

“Survei yang kami pernah lakukan mendata bahwa sebanyak 80% responden di Jabodetabek ingin memasang PLTS, namun informasi tentang PLTS tersebut masih sangat kurang. Sebenarnya, hal ini bisa menjadi peluang bisnis untuk PLN untuk menggarap pasar PLTS atap, karena masih ada kecenderungan masyarakat lebih percaya PLN jika terkait dengan listrik,” tandas dia.

Eko bahkan memprediksi dengan berkembangnya pasar PLTS akan mengubah model bisnis PLN di masa depan.

Baca Juga: Kota Semarang PPKM Turun ke Level 2 PPKM, Wali Kota Kejar Testing dan Tracing

“Sistem energi masa depan akan lebih terdesentralisasi dan mengarah ke digitalisasi. Model bisnis PLN bisa jadi akan berubah dengan menyewakan jaringan karena aset itu yang sudah dimiliki PLN,” tuturnya.

Tidak hanya itu, Rachmawan Budiarto, Direktur Center for Development of Sustainable Region (CDSR) Pusat Studi Energi (PSE, Universitas Gadjah Mada) mengungkapkan peluang lain yang bisa dimanfaatkan PLN saat pemanfaatan PLTS atap semakin besar adalah penyediaan jasa operasional dan perawatan.

“Prosumer (producer – consumer) membutuhkan kejelasan dan kemudahan prosedur, juga regulasi yang menarik atau meningkatkan keekonomian. Sharing comfort zone antara PLN, ESDM, dan pihak swasta harus terjadi dalam transisi energi. PLN dan prosumer bermitra bukan bersaing untuk mencapai target energi terbarukan yang lebih besar. Pencapaian target energi terbarukan tidak harus bergantung sepenuhnya pada APBN, target ini bisa dicapai dengan prakarsa mandiri (gotong royong) salah satunya melalui pemanfaatan PLTS atap,” tandas Rachmawan.

Baca Juga: Alumni Akpol Batalyon Pratisara Wirya 1992 Bagikan Bansos di Semarang

Menyoroti masalah intermitensi PLTS, Eko menjabarkan bahwa persoalan tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Menurutnya, data cuaca dan irradiasi matahari, keluaran listrik PLTS (PV output), pola penggunaan listrik PLTS bisa diamati dan dikumpulkan sehingga bisa dilihat polanya. Dengan mengetahui pola-pola ini, maka perencanaan sistem kelistrikan bisa dilakukan dengan mengakomodasi penetrasi tersebut; bisa dengan teknologi forecasting untuk distribusi suplai-permintaan, juga sistem penyimpanan yang optimum.

Mendukung pernyataan Eko, Ida Ayu Dwi Giriantari, Kepala CORE (Center of Excellence Community Based Renewable Energy), Universitas Udayana mengungkapkan bahwa saat ini intermitensi masih bisa diatasi oleh jaringan PLN.

“Selama ini, dari segi jaringan, PLN selalu mengatakan PLTS memiliki intermitensi tinggi dan jaringan PLN belum siap. Dari simulasi yang dilakukan, saat PLTS masuk di jaringan menengah tidak banyak ada kendala, penetrasi PLTS atap di banyak titik penyulang di Bali tidak terlihat mengganggu jaringan. Tentunya jika Bali mau serius 100% energi terbarukan, perlu dibuat perencanaan dan mungkin upgrade jaringan,” jelas Ida.

Ning