Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Suami-istri Suta dan Sumi sangat pas untuk contoh tentang praktek hidup sehari-hari trima ngalah dan trima ngalahi. Berdalih sebagai pembawaan lahir, Sumi selalu saja nyinyir terhadap apa saja yang dilakukan Suta, suaminya.
Mandi terlalu pagi dinyinyiri dan bertubi pertanyaan: Kok tumben rajin sekali, ada janjian ya? Mau ke mana saja hari ini, Pak? Apabila sesekali tidak mandi pagi, – sesekali males kan boleh? -, disindir-sindir: Nikmat ya sarapan belum mandi? Kalau setiap hari begini terus, murah dong kita bayar langganan airnya.
Saking terbiasanya Suta menerima nyinyiran atau sindiran istri, termasuk begini disalahkan, begitu dipandang keliru; – meski awalnya sakit hati – , Suta berangsur mampu mengambil sikap trima ngalah.
Sikap trima ngalah yang diambilnya, antara lain diam saja tanpa sakit hati, beranggapan betapa nyinyir dan sindir itu bagian dari dinamika pilihan dan panggilan hidup.
Suta memilih trima ngalah juga dengan pertimbangan kareben ora ribut, biar tidak heboh atau rebut; sebab begitu ribut, semuanya biasanya lalu menjadi ribet. Bahkan tidak mustahil, nyinyir dan sindir itu sebuah pancingan saja, yaitu memancing agar nesu, marah.
Trima ngalah adalah sebuah keutamaan sikap hidup, dan dipilih oleh Suta karena ia berpikir betapa masih ada urusan yang lebih penting dan mendesak dalam kehidupan ini katimbang larut dalam sakit hati, atau bawa perasaan (baper), atau bahkan selalu menanggapi nyinyiran dan sindiran dengan kemarahan. Suta tidak mau seperti itu, maka trima ngalah saja.
Bagi orang yang tidak paham, trima ngalah sering dianggap sebagai sebuah kekalahan, lembek-sikap, plonga-plongo, “wong lanang kok wedi karo sing wedok”, laki-laki penakut; padahal justru dengan mengedepankan trima ngalah seperti itu, Suta mau mengatakan: Apa sih untungmu nyinyir penuh sindir itu, Bu, terhadap suami lagi?
Bagi Suta, trima ngalah itu posisi mental, dan apabila terus diinternalisasi secara konsisten akan menjadi kekuatan mental luar biasa. Nyinyir sindir lewat, wes……wes……wes……bablas.
Trima Ngalahi
Suta yang memilih sikap trima ngalah, atau siapa pun senang memilih sikap suka mengalah seperti Suta, umumnya dia atau mereka akan mampu mengeksekusi dengan tindakan yang bercorak trima ngalahi.
Artinya, seseorang tidak sekedar siap mental, melainkan juga siap mengerjakan apa saja yang disikapinya itu. Orang seperti ini dapat dikatakan sosok “paripurna,” karena ora kakehan omong dan tidak suka ribut-ribut seraya mengeksekusi kebijakan dan pekerjaan secara penuh kesungguhan.
Baca Juga: Rebut Unggul untuk Sebuah Sensasi?
Pandemi Covid-19 menjelaskan banyak hal, termasuk menegaskan secara kasat mata sosok-sosok “paripurna” yang mampu memadukan trima ngalah dan trima ngalahi itu. Tentu saja, juga semakin menyadarkan masyarakat tentang sosok mana saja yang jebule mung tong kosong gelondangan.
Antara trima ngalah dan trima ngalahi bagaikan sekeping mata uang, keutamaan sikap hidup yang justru cetha wela-wela, terlihat secara terang benderang di saat “ujian” pandemi ini.
Siapa mampu dan lulus dalam ujian ini, siapa pula tidak lulus pun tidak lolos. Sosok yang tidak lulus dan tidak lolos umumnya didominasi oleh orang-orang yang sukanya mempermasalahkan “apa yang masuk” namun abai terhadap “apa yang keluar.”
Trima ngalah dan trima ngalahi itu adalah “apa yang masuk” karena sebagai posisi mental dan kesiapan eksekusi; sementara Sumi yang nyinyir penuh sindir itu termasuk hanya mementingkan “apa yang keluar.”
Jadi, trima ngalah itu sikap, sedang trima ngalahi itu perbuatan/tindakan; keduanya berlandaskan pada “apa yang masuk” yakni hati tulus; sedangkan nyinyir nyindir itu “apa yang keluar” dari hati yang he…he..he…memang nyinyir.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)