blank
Sarmi dan Kusniatun, potret istri nelayan yang kreatif mengembangkan blenyik di Jambu, Mlonggo. (Foto : Indra Sadewa )

Oleh : Hadi Priyanto

blank

Hampir semua literatur kuliner yang ada menyebut, blenyik adalah makanan khas Jepara. Walaupun tidak disebutkan kapan  blenyik  yang  dibuat dari ikan teri ini  mulai dikenal  masyarakat Jepara, namun diyakini bahwa blenyik ini telah dikenal  ratusan tahun yang lalu dan warisan nelayan Jungpara. Baru kemudian berkembang juga di  Juana, Rembang, Tuban dan Demak.

Blenyik atau ada yang menyebutnya tempong, terbuat dari  ikan teri yang sudah dicampur sedikit garam. Kemudian dibentuk menjadi bulatan kecil tak beraturan. Caranya, dibentuk dengan jumputan kecil  dan kemudian dijemur hingga kering.

Latar belakang munculnya blenyik diduga karena sebagai kawasan pantai yang memiliki banyak terumbu karang, Jepara memiliki potensi hasil perikanan yang melimpah. Salah satunya adalah hasil tangkapan ikan teri.

Nah, ketika hasil tangkapan melimpah hingga harganya turun, dengan kearifan lokalnya nelayan kala itu mulai membuat blenyik. Mereka membuat bleyik dengan cara-cara yang alami, termasuk pengeringannya hanya mengandalkan sinar matahari.

Disamping itu, juga untuk persediaan lauk kala musim baratan tiba, saat nelayan tidak bisa melaut. Sebab setelah dikeringkan secara alami, blenyik mampu bertahan beberapa bulan dengan rasa yang tidak berbeda.

blank
Olahan alami, termasuk pengeringan dengan sinar matahari menjadi salah satu ciri makanan khas Jepara ini. (Foto :Indra Sadewa )

Saat musim penghujan, ikan blenyik yang digoreng terasa bertambah nikmatnya kala disantap dengan nasi hangat dan sambal terasi yang terbuat dari ikan rebon. Bukan hanya itu, ikan blenyik juga dapat dibuat berbagai olahan menu masakan mulai tumis, goreng, dan dikukus.

Saat ini masih banyak warga yang membuat ikan blenyik. Mereka biasanya berada di desa-desa pantai seperti Kedungmalang, Tanggul Tlare, Jobokuto, Ujungbatu, dan Jambu. Banyak diantara mereka yang meneruskan mata pencarian orang tuanya, turun temurun. Membuat  blenyik biasanya dilakukan oleh perempuan.

Seperti yang dilakukan oleh Sarmi dan kerabatnya di Jambu, Kecamatan Mlonggo. Ia telah membuat blenyik dalam waktu yang cukup lama. Juga Kusniatun dan keluarganya. Hanya Kurniatun juga membuat terasi yang terbuat dari rebon.

Baik Sarmi maupun  Kusniatun dan keluarganya  yang tinggal di sekitar muara sungai Mlonggo mengangap  membuat blenyik sangat berarti untuk menambah pemasukan keluarga. Apalagi mereka telah memiliki pelanggan, baik bakul maupun  ibu-ibu rumah tangga.

“Biasanya kami jual dalam hitungan 24 wilangan. Tidak kami timbang, mewarisi cara yang dilakukan orang tua kami secara turun-temurun,” kata Kusniatun. Satu wilangan dalam hitungan Jawa berisi 5. Sehingga kami  mengemas blenyik   sebanyak 120 butir  per plastik, tambahnya.

“Blenyik teri nasi kami jual Rp 50 ribu per plastik. Kalau bahannya terbuat dari teri biasa atau ikan lain harganya  di bawah itu. Walaupun untungnya  tidak bisa dibilang banyak, namun kami sudah sangat  mensyukuri bisa bekerja membantu perekonomian keluarga” ujar Sarmi.

Kalau saja blenyik yang dibuat oleh istri  nelayan ini mendapatkan sedikit sentuhan kemasannya, tentu nilai jualnya akan meningkat. Apalagi jika kemudian dipasarkan dan dipromosikan sebagai makanan khas Jepara.

Belum lagi  jika ada menu-menu spesial kuliner blenyik diberbagai resto dan hotel terkemuka di Jepara,  tentu akan diburu menjadi oleh–oleh  bagi wisatawan. Muaranya, kesejahteraan nelayan pembuat blenyik tentu akan beranjak naik.

Penulis adalah pegiat budaya Jepara, pemerhati pariwisata dan wartawan SUARABARU.ID