Oleh Idham Cholid
Lebih populer sebagai Kiai daripada politisi. Masyarakat luas mengenalnya sebagai Muballigh. Gaya ceramahnya runtut, dengan bahasa sederhana, mudah dipahami, dan tak jarang diselingi humor khas kiai. Itulah KH Supomo Ibnu Syahid. Orang memanggilnya Kiai Pomo, saya biasa menyapa Pak Pomo.
Jauh sebelum terjun ke dunia politik, Pak Pomo sudah dikenal sebagai pendidik, guru di SMA Negeri Wonosobo. Selain itu, aktif juga di Lembaga Pendidikan Ma’arif NU. Saat sebagai aktivis NU ini pula saya mulai mengenalnya.
Waktu itu, saya masih kelas 3 MTs Ma’arif Kertek. Bersama kawan-kawan, kami mengikuti Taujih Irsyahil Qur’an pada bulan Ramadhan 1986, selama satu minggu, bertempat di gedung MTs, kidul Pasar Kertek. Seperti program Pesantren Kilat. Di antara peserta, ada juga Kholiq Arif (Bupati Wonosobo 2005-2015), saat itu sudah di MAN Mendolo.
Pak Pomo tampil sebagai salah satu mentor, membawakan materi “Teknik Diskusi.” Sampai sekarang, saya masih ingat, materi yang disampaikannya itu.
“Bagaimana cara diskusi yang baik?” Demikian pertanyaan Pak Pomo, mengawali acara. Dia pun kemudian menyampaikan penjelasan panjang lebar, detail. Yang masih saya ingat sampai sekarang, katanya, diskusi itu seperti membuat tempe kemul. Harus ada bahan-bahan yang dibutuhkan. Ada tempe, tepung, dll juga bumbu-bumbunya. “Semua harus diracik dengan baik hingga menghasilkan tempe kemul yang siap dihidangkan.” Jelasnya.
Tak hanya materi tentang diskusi itu. Sebagai instruktur handal, pada akhir acara, Pak Pomo secara khusus juga memberikan “gemblengan” mental.
Ketika acara tengah berlangsung dengan materi yang cukup serius dari pemateri lain, tiba-tiba Pak Pomo yang berjaket loreng Tentara, masuk ke ruangan dengan wajah tegang, melampiaskan kemarahan. “Saya ditipu panitia, acara ini belum ada ijinnya. Semua harus bubar!” Teriaknya keras.
Sontak, para peserta pun kalang kabut. Ada yang mau lari keluar, ada yang diam membisu. Saya lihat Kholiq Arif juga agak ketakutan. Cukup lama para peserta bingung dan ribut, saling menyalahkan. Duerrr…. ternyata, itu hanya drama sesaat untuk uji nyali para peserta.
Moment itulah yang tak pernah saya lupakan. Baik materi tentang diskusi maupun uji nyali, sangat membekas sampai hari ini. Di sinilah memori saya merekam, Pak Pomo sebagai guru yang baik.
Apalagi 13 tahun kemudian, ketika bersama-sama memimpin partai. Pak Pomo sebagai Ketua DPD Golkar, saya menjadi Ketua DPC PKB Wonosobo. Kesabaran, keuletan, dan ketangguhannya dalam berpolitik, haruslah diteladani. Saya menyaksikannya sendiri.
Menurut saya, para politisi Wonosobo mesti banyak belajar darinya. Bagaimana tidak? Di saat hampir semua aktivis NU pindah haluan dengan adanya sistem multi partai, juga karena lahirnya PKB, Pak Pomo tetap “istiqamah” mempertahankan Golkar di tengah caci maki publik karena “kemarahan” terhadap Orde Baru.
Pernah saya tanya, kenapa tetap di Golkar? “Saya didawuhi Mbah Muhaiminan agar tetap bertahan.” Katanya memberi alasan. Pak Pomo adalah juga santri kinasih al-Maghfurlah KH Raden Muhaiminan Gunardo, Parakan.
Untuk membuktikan alasannya itu, suatu ketika saya pernah bareng sowan ke Parakan. Di depan saya, Pak Pomo matur tentang posisinya di Golkar kepada Mbah Muhaiminan. Benar saja, Kiai Kharismatik itu jawabannya sebagaimana yang diceritakan Pak Pomo.
Tentu, memimpin Golkar saat awal reformasi itu sangat jauh beda dengan Golkar ketika sedang berkuasa, atau pun saat sekarang ini.
Kita tahu, tumbangnya kekuasaan Soeharto juga menandai berakhirnya rezim Orde Baru, sekaligus menjadi puncak pelampiasan kemarahan rakyat kepada Golkar khususnya. Pak Pomo memimpin partai dalam situasi sulit seperti itu. Para politisi Golkar khususnya haruslah berterimakasih kepadanya. Mereka semua “berhutang” kepada Pak Pomo.
Tanpa ketokohan orang sekaliber Pak Pomo, harus saya tegaskan, Golkar Wonosobo mungkin sudah mengalami kepunahan.
Dengan kepemimpinan yang meneduhkan, Pak Pomo berhasil meyakinkan para pimpinan partai bahwa Partai Golkar sudah berubah. Sejak sebelum Pemilu 1999 kami, para pimpinan partai saat itu, sering diskusi bersama. Bergiliran tempat penyelenggaraan, dengan agenda utama mewujudkan Pemilu yang demokratis, aman dan damai.
Dan terbukti hasilnya. Meski ada “gesekan” antar pendukung beberapa partai, terutama PKB-PPP-PAN ketika itu, namun secara umum Pemilu terselenggara dengan baik, sangat demokratis. Secara khusus, Partai Golkar pun kembali mendapatkan kepercayaan.
Tak hanya itu. Pak Pomo juga berhasil membawa Partai Golkar “berdiri tegak” saat Pilkada 2000. Padahal bisa saja ketika itu Partai Beringin ini kembali mencalonkan incumbent, namun hal itu tak dilakukannya. Sebagai pemimpin partai yang berkomitmen bahwa Golkar sudah berubah, Pak Pomo benar-benar menunjukkan komitmen kebersamaannya, mendukung keterpilihan Bupati dan Wabup (2000-2005) secara demokratis.
Bahkan, pada 2001 ketika Gus Dur dilengserkan, dan lagi-lagi Partai Golkar pun menjadi puncak pelampiasan, Pak Pomo tetap memimpin partai ini dengan penuh ketenangan. Justru saat itu kami bersama-sama ke Jakarta, menemui Ketua DPR Akbar Tanjung, dan mengkampanyekan tentang perlunya berpolitik dengan akhlaq, nurani dan akal sehat.
Demikian pula lima tahun kebersamaan kami di DPRD 1999-2004, Pak Pomo selalu tampil menjadi penyeimbang. Golkar juga selalu menawarkan solusi yang mencerdaskan.
Itulah sekelumit yang saya kenang tentang Pak Pomo. Kamis malam Jumat, 29 Juli, Allah Swt telah memanggilnya, setelah cukup lama diberikan ganjaran sakit. Saya yakin, kesabarannya selama ini telah menjadi “kafarat” atas semua dosa dan kesalahannya.
Pak Pomo meninggalkan jejak kebaikan yang banyak. Kiprahnya sangat komplit. Bukan hanya sebagai politisi, tapi yang justru sangat dikenang masyarakat adalah sebagai guru ngaji. Semoga Allah Swt memberikan tempat yang layak di sisi-Nya. Al-Faatihah!
Kalisuren, 30 Juli 2021
Idham Cholid