blank
Ilustrasi/LPP UMP Yogya

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Di saat-saat “serba sulit” sekarang ini, banyak orang bingung bersikap atau pun berkeputusan: Apakah mau sarwa jaluk (serba meminta) ataukah justru harus akeh weweh (banyak memberi)?

Mana yang paling pas, sebaiknya bersikap egois karena harus mengutamakan diri dan keluarga sendiri, ataukah justru inilah kesempatan terbaik untuk mengembangkan solidaritas sosial.

Bagaimana sikap terbaik ketika kabeh padha susahe, ketika semua pihak sedang dalam kondisi serba susah: Ngrengek-ngrengek jaluk tulung, ataukah ayo holopis kuntul baris, bersemangat tinggi menyatukan tekad?

Dan sebagai mahluk yang memegang kuat aspek-aspek religi kehidupan, kagem Gusti apike piye (sikap terhadap Tuhan, bagaimana): Sambat ngaru-ara, yakni berkeluh kesah semata seraya minta ini minta itu; ataukah justru saat inilah saat paling baik untuk mempersembahkan hidup.

Baca Juga: “Menghalau” Covid-19: Ora Perlu Tembung Ora Perlu Lawung, Tundhung!

Saya memilih yang terakhir, yakni tidak mengutamakan minta-minta, melainkan justru: “Gusti, ulun caos pisungsung,” Allah, terimalah persembahan kami.

Ada penggalan lagu yang sebagian syairnya masih teringat berhubung itu lagu semasa kecil dulu, yakni Gusti ulun, ulun caos pisungsung; angimbangi tresna Dalem Ma-Agung; nyaosaken mobah mosik dalem, (dan …….lupa).

Maknanya. manusia ini membawa persembahan hidup kepada Sang Khalik, menyerahkan semua kelakuan dan pikirannya. Tujuannya apa? Inilah syair yang paling teringat: “Ingkang suprih, dados karsa Dalem, para umat pinaringan padhang.”

Alasan mengapa penggalan syair itu paling teringat, karena waktu itu ada teman bernama Suprihono, panggilannya Suprih, dan setiap kali anak-anak sebaya itu berteriak (maksudnya nyanyi asal nyanyi): Ingkang Suprih (keras-keras) dados karsa Dalem, para umat pinaringan padhang; semoga semuanya adalah kehendak Allah dan manusia semuanya diberikan terang (bukan kegelapan).

Intinya, di saat sulit seperti sekarang ini cara terbaik berserah diri kepada Sang Khalik ialah dengan mempersembahkan seluruh kehidupan ini, -bukannya merengek-rengek sambat-sambat semata- .

Mempersembahkan segalanya yang ada atau yang dimiliki, jauh lebih mematangkan diri dibanding minta-minta yang konotasinya sarwa jaluk karena isih kurang, yaitu serba meminta karena kurang ini, kurang itu.

Mempersembahkan diri karena sebenarnya hidup ini telah kita terima serba cuma-cuma dan adil dari Sang Khalik. Matahari menyinari kepada siapa saja secara sama,

Tuhan tidak pilih-pilih menyinari si A lebih panas dari si B. Hujan juga kita nikmati secara cuma-cuma, dan kalau malam gelap, kita juga menikmati gelap itu secara adil.

Semua telah kita nikmati dan terima; dan semua itu pula yang harusnya menjadi persembahan hidup kepada-Nya. Mengapa begitu? Lagi-lagi, nyanyian teriak-teriak anak kecil tadi: Gusti ulun, ulun caos pisungsung …… Ingkang suprih, dados karsa Dalem, para umat pinaringan padhang.

(JC Tukiman TarunasayogaPengamat Kemasyarakatan)