JAKARTA (SUARABARU.ID) – Pakar Keamanan Pangan IPB University Harsi D. Kusumaningrum meminta masyarakat untuk waspada risiko bakteri Staphylococcus Aureus di makanan siap saji yang proses pengolahannya tidak higienis.
“Staphylococcus Aureus tersebut adalah salah satu bakteri yang dapat menghasilkan toksin sehingga menyebabkan keracunan pangan,” ujar Harsi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan pengolahan pangan siap saji sangat beragam serta berasal dari bahan baku yang juga beragam. Selain harus menggunakan bahan baku yang aman dan berkualitas, pelaku usaha juga harus menerapkan praktik higiene personal dan memberlakukan proses pengolahan yang baik sesuai dengan lima kunci utama World Health Organization (WHO) dalam keamanan pangan.
Ketentuan dalam pengolahan pangan siap saji telah ditetapkan melalui peraturan pemerintah, namun tidak sedikit pelaku usaha yang mengolah secara sembarang.
Pengolahan pangan secara sembarang atau tidak higienis dapat menimbulkan risiko kesehatan akibat cemaran atau kontaminasi yang dihasilkan selama prosesnya.
“Apa yang terjadi bila misalnya jumlah mikrobanya demikian banyak, itu salah satunya dapat menyebabkan keracunan pangan dan infeksi pangan,” kata dia.
Menurut dosen Fakultas Teknologi Pertanian IPB University itu, Staphylococcus Aureus dapat tumbuh optimal pada produk pangan yang disimpan dalam suhu 6-48 derajat celsius dalam pH netral atau sedikit asam. Bakteri tersebut dapat menghasilkan toksin berjenis enterotoksin. Bakteri tersebut dapat mudah ditemukan pada pangan olahan daging, telur, susu, olahan tuna dan sebagainya.
Masih sulit untuk memusnahkan bakteri tersebut pada pangan olahan karena tidak semua produk melalui proses sterilisasi. Tidak heran bila masih terdapat banyak kasus keracunan pangan yang dilaporkan, terutama pangan olahan rumah tangga seperti nasi bungkus.
Kajian dan investigasi penyebaran S. Aureus pada pangan siap saji telah dilakukannya bersama tim pada 2009. Investigasi yang dilakukan yakni mengkaji penanganan pangan oleh pengolah, mengidentifikasi S. Aureus pada sampel pangan, mengidentifikasi S. Aureus pada pengolah dan konsumen, serta mengkuantifikasi penyebaran S. Aureus di udara.
Hasil yang diperoleh yakni 36 persen sampel pangan siap saji ditemukan positif mengandung S. Aureus. Masih ditemukan pula delapan persen pengolah makanan yang tidak menggunakan alat bantu atau langsung dengan tangan. Lama penyimpanan di suhu ruang sebelum dikonsumsi masih ada yang lebih dari batas ketentuan dua jam.
“Hal lain yang perlu diperhatikan dalam higiene personal adalah potensi kontaminasi silang. Sehingga memungkinkan terjadinya perpindahan bakteri atau mikroorganisme dari pengolah pangan atau dari lingkungan sekitar pengolahan,” kata dia.
Menurut WHO, batas aman penyimpanan pangan siap saji dalam suhu ruang yakni dua jam saja. Namun masih banyak pelaku usaha yang menyimpan pangan di suhu ruang lebih dari dua jam. Padahal perkembangbiakan bakteri tergolong pesat, yakni dapat membelah diri setiap 12 hingga 20 menit. Dengan kecepatan tersebut, satu sel bakteri dapat menghasilkan jutaan sel dalam sehari.
“Rekontaminasi S. Aureus dapat mudah disebarkan melalui udara, yakni bila pengolah pangan berbicara di depan makanan,” kata dia.
Adapun upaya mengurangi risiko kontaminasi mikroba pangan siap saji dapat dilakukan melalui penyuluhan berkelanjutan, pelibatan masyarakat termasuk media massa, pengawasan berkelanjutan, serta evaluasi kinerja. Upaya tindak lanjut tersebut sebagian besar telah dilakukan rutin setiap tahunnya, namun kasus keracunan pangan masih saja terjadi.
“Jadi apa yang salah? Sebenarnya apakah ada yang kurang? Apakah ada perubahan dan permasalahan yang baru? Yang perlu juga diperhatikan ialah kesadaran terhadap keamanan pangan, apakah sudah benar. Perubahan sikap ataupun awareness tersebut yang harus diperhatikan,” kata dia.
Antara