blank
Ketua Sangha Theravada Indonesia, Bhikku Sri Pannavaro Mahathera saat memberikan kotbah pada puja bakti Waisak 2565 BE/ 2021. Foto: Yon

KOTA MUNGKID, (SUARABARU.ID)- Sejumlah umat Buddha di Vihara Mendut yang ada di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, melaksanakan meditasi dan berdoa tepat di saat Detik-Detik Waisak 2565 Buddhis Era /2021 yang jatuh pada pukul 18.13.30 WIB, Rabu (26/5/2021).

Pada saat menjalankan meditasi tersebut, para umat tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat, yakni hanya diikuti beberapa umat Buddha saja. Hal itu dikarenakan masih dalam situasi pandemic covid-19.

Meskipun demikian, tidak mengurangi kekhidmatan dari upacara detik-detik waisak. Sebelumnya, sejak pagi hari mereka melantunkan  parrita (kitab suci).

Menjelang detik-detik Waisak, para umat Buddha kembali melakukan meditasi ( doa bersama) dengan khusuk yang dipimpin  Ketua Sangha Theravada Indonesia, Bhikku Sri Pannavaro Mahathera.

Pada kotbahnya, Bhikku Pannavaro mengatakan, di tengah pandemic covid-19 yang telah lebih dari satu tahun melanda Indonesia, ada hikmahnya yang bisa diambil oleh para umat Buddha.

Yakni, peringatan Tri Suci Waisak tidak perlu diperingati dengan perayaan besar-besaran dan hiburan. Melainkan, diperingati dengan sederhana serta  banyak bermeditasi.

“Marilah kita memperingati Tri Suci Waisak dengan banya bermeditasi. Dengan Dhamma Sawana dan Dhamma Sakaca. Yakni mendengarkan uraian dharma dan berdialoh tentang dhamma,” kata Bhante Pannavaro.

Menurutnya, perayaan Tri Suci Waisak merupakan peringatan tiga peristiwa besar di bulan Waisaka. Yakni,  kelahiran, pencapaian pencerahan sempurna dan saat parinibbana (kematian) Sang Budha Gautama.

Ia mengatakan, pada waktu Pangeran Sidharta Gautama  pertama kali melihat penderitaan di luar istana, bermacam-macam penderitaan yang beliau lihat. Seperti  orang yang tua renta, orang terkena sakit, orang  meninggal dunia dan pertapa yang meninggalkan keduniawian.

“Penderitaan-penderitaan yang dilihat oleh Sidharta membuat galau pikirannya. Kenyamanan, kedudukan, kenikmatan di dalam istana, sama sekali sudah tidak menarik.Dan, kemudian meninggalkan keduniawiaannya,” ujarnya.

Pannavaro menjelaskan, meskipun hanya sekali penderitaan di saksikan Sidharta, betapa kuatnya, kekuatan penderitaan itu, sehingga membuat Sidharta tidak nyaman di istana dan akhirnya meninggalkan istana

“Setelah meninggalkan istana, Sidharta mencari jalan membebaskan mahluk dari penderitaan. Betapa kuatnya dorongan penderitaan itu,” kata Pannavaro yang juga Pimpinan Tertinggi di Vihara Mendut itu.

Menurutnya, penderitaan yang dilihat oleh Sidharta tersebut , merupakan salah satu faktor yang sangat kuat untuk meninggalkan keduniawian.

Tetapi ,ada kekuatan lain yang lebih hebat yakni kekuatan cinta kasih, welas asih terhadap mahluk yang menderita.

“Welas kasih  yang mendorong Sidharta  meninggalkan istana secara total demi kebahagiaan semua mahluk dari penderitaan,” ujarnya.

Ia menambahkan, dalam waktu yang sangat lama yakni enam tahun, Sidharta bertapa, berjuang keras, berguru, dan berusaha dengan caranya sendiri. Tetapi, semua usaha sia-sia.

“Beliau menyadari, kenikmatan dan penyiksaan diri bertapa yang sangat keras tidak membawa pencerahan sempurna,” ujarnya.

Setelah meninggalkan cara itu, pada saat purnama sidi di bulan Waisaka, Sidharta mencapai pencerahan sempurna. Sejak saat itu, beliau di sebut Buddha yang bangun di tengah-tengah mereka yang menderita. Yon

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini