Oleh : Aliva Rosdiana
Sudah menjadi tradisi, setiap Hari Raya Idul Fitri, hidangan ketupat dan lepet selalu melengkapi menu-menu kuliner lainnya seperti opor ayam dan sambal goreng. Namun puncak kuliner tradisional ini justru pada hari Lebaran + 7 atau hari kedelapan bulan Syawal.
Apalagi bagi masyarakat Jepara, ketupat atau banyak menyebut kupat dan lepet bukan hanya menjadi milik umat Muslim tetapi juga telah menjadi miliki kolektif masyarakat. Sebab tradisi kupat lepet juga dikaitkan dengan kegiatan budaya lomban yang menjadi milik bersama masyarakat.
Terkait dengan mengapa tradisi Kupat – Lepet ini lebih banyak dihadirkan sebagai kuliner khas pada tanggal 8 Syawal dan bukan pada tanggal 1 Syawal sebenarnya bermula dari perintah Nabi Muhammad SAW menganjurkan umat Islam untuk menyempunakan puasa Ramadan dengan puasa sunah selama 6 hari dimulai 1 Syawal yang pahalanya bisa menghapus dosa satu tahun ke depan.
Sehingga tradisi Kupat Lepet menjadi simbul sebuah perayaan atau pesta kemenangan bagi umat Muslim yang telah menjalankan 6 hari puasa Syawal. Sedangkan hidangan utama yang dipilih secara turun temurun adalah ketupat dan lepet.
Mengapa dua jenis makanan ini yang dipilih ? Ada filosofi tersirat dari kedua pasangan ini, yakni ketupat dan lepet berdasarkan sejarahnya. Konon Sunan Kalijaga memperkenalkan ba’da (bodo artinya setelah) sebagai prosesi salat Idul Fitri 1 Syawal dan dilanjutkan dengan silaturrohim berkunjung dari rumah ke rumah untuk bersalam-salaman dan saling memaafkan.
Istilah Kupat (Ketupat) memiliki makna Ngaku Lepat (mengakui kesalahan) dan Laku Papat (Empat Tindakan). Implementasi pada istilah Laku Lepat dilakukan dengan sungkeman atau bermaaf-maafan. Yang lebih muda sungkem kepada yang lebih tua dengan bersimpuh meminta maaf.
Tradisi sungkeman ini mengajarkan pada anak-anak agar menghormati orang yang lebih tua serta memohon bimbingan dan meminta ridhonya mengingat yang lebih tua lebih berpengalaman. Sebaliknya, tradisi sungkeman juga mengingatkan orang yang lebih tua untuk membimbing dan mengasihi orang yang lebih muda.
Dilengkapi dengan simbol ketupat pada tradisi Sungkeman disuguhkan sebagai menu hidangan setelah sungkeman. Setelah dimakan, otomatis pintu maaf terbuka dan dosa maupun segala khilaf terampuni antara satu orang dengan lainnya.
Kemudian, maksud dari istilah Laku Papat adalah Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan. Lebaran berarti akhir dari puasa Ramadan dan bersiap untuk menyongsong kemenangan Idul Fitri.
Luberan berarti melimpah bak air yang tumpah kepenuhan. Makna luberan ini diimplementasikan dengan membayar Zakat Fitrah sebagai bentuk tumpahan harta yang harus dibagikan kepada orang yang tidak mampu membayar zakat karena ada hak bagi orang miskin di situ agar harta pembagi zakat menjadi suci.
Leburan berarti habis atau hilang. Dosa melebur setelah bermaaf-maafan, sehingga tidak ada dendam dan sakit hati baik yang meminta maupun yang memberi
Terakhir adalah Laburan yang berasal dari kata labur. Bak kapur putih digunakan untuk melabur, warnanya bisa menjernihkan air. Kata Laburan ini dimaknai oleh umat Muslim sebagai momen untuk menjernihkan rohani dan jasmani kembali menjadi putih dan suci tanpa dosa.
Janur digunakan sebagai pembungkus untuk pembuatan ketupat dan lepet. Kenapa harus dibungkus dengan janur? Apa maknanya? Kata janur diambil dari bahasa Arab, yaitu “Jaa’Nur” (telah datang cahaya). Bentuk segi empat pada ketupat diibaratkan sebagai hati manusia.
Saat ketupat dibelah dan didapatkan isinya berwarna putih, maka orang tersebut telah mengakui kesalahannya sehingga tidak ada dendam serta dengki karena hatinya telah dibungkus cahaya Jaa’Nur.
Begitu pun Lepet, singkatan dari silep kang rapet, memiliki makna sama dengan ketupat. Ucapan “Monggo dipun silep ingkang rapet (mari kita kubur/tutup yang rapat)” mengandung makna dibukanya pintu maaf dan dikubur segala dendam atau dengki.
Diharapkan setelah mengakui kesalahan (lepat), kemudian meminta maaf, maka kesalahan yang sudah dimaafkan tidak terulang kembali sehingga persaudaraan menjadi erat seperti lengketnya ketan lepet.
Budaya makan bersama dengan hidangan ketupat dan lepet beserta pendamping makanan bersantan tak ayal turut melengkapi dan suasana menjadi akrab satu sama lain.
Tak jarang pula membagi-bagikan makanan khas Lebaran ini kepada para tetangga sebagai pengikat tali silaturahim dan persaudaraan, juga sebagai simbol kasih sayang. ( *)
Penulis adalah Dosen Unisnu Jepara