WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Komunitas spiritual Kejawen berduka. Demang Supardi (97), Juru Kunci petirakatan (pertapaan) Sendang Siwani, Kabupaten Wonogiri, meninggal dan jenazahnya dimakamkan Kamis siang (14/1).
Jenazah Demang Pardi, dimakamkan di Astonoloyo Gunung Wijil Matah, Desa Singodutan, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri. Eyang (Mbah) Pardi, demikian panggilan akbrabnya, meninggalkan empat anak dan 17 cucu. Keempat anaknya terdiri atas Warsi-Kasimin, Yoto-Jur’aidah, Slamet Riyadi-Sukatmi dan Widodo.
Sudah puluhan tahun Eyang (Mbah) Pardi setia menjadi Juru Kunci di tempat petirakatan Sendang Siwani, yang berlokasi di Dusun Matah, Desa Singodutan, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri. Nama Demang Pardi, banyak dikenal oleh para pelaku spiritual Kejawen, utamanya yang suka menjalani tirakat di Sendang Siwani.
Dapat Kekancingan
Atas kesetiaannya menjadi Juru Kunci Sendang Siwani, Eyang Pardi, mendapatkan surat kekancingan sebagai abdi dalem Istana Mangkungeran Surakarta, dengan pangkat dan jabatan sebagai Demang. Gelar sesebutan Demang, diberikan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegara.
Budayawan Jawa peraih anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM, menyatakan, Eyang Pardi juga pernah menerima anugerah dari Bupati Wonogiri. Yakni penghargaan Panca Warsa Abdi Budaya dari Bupati Wonogiri Drs Tjuk Susilo dan dari Bupati Begug Poernomosidi (KPAA Sura Agul-agul Ki Andana Warih).
Objek wisata spiritual Sendang Siwani, dikenal sebagai petilasan pertapaan Raden Mas (RM) Said atau Pangeran Sambernyawa. Itu dilakukan, tatkala menggelar perang melawan ketidakadilan keraton dan penjajah Kompeni Belanda. Sebelum akhirnya, berhasil sebagai pendiri dinasti Mangkunegaran, bergelar KGPAA Sri Mangkunegara I.
Pangeran Sambernyawa
Bertapa di Sendang Siwani, waktu itu dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa ketika mengalami kalah di sejumlah pertempuran. Saat bertapa di Sendang Siwani, diberikan wangsit (ilham) seakan menyaksikan ada dua kerbau yang berkelahi. Satu Kerbau Bule (putih) dan satunya lagi Kerbau Wulung (hitam).
Setiap kali Kerbau Wulung kalah, kemudian gupak (berendam) di kubangan air, dan kembali kekuatan untuk bersemangat lagi berkelahi, sampai akhirnya menang. Di tempat berair yang dipakai berendam Kerbau Wulung itu, kemudian terkenal sebagai Sendang Siwani. Yang airnya diyakini bertuah membangkitkan semangat untuk meraih kemenangan.
Seluruh prajurit Sambernyawan diminumi air dan dimandikan memakai air Sendang Siwani, sebelum meneruskan pertempuran lagi yang akhirnya memenangkan perang. Keyakinan itu, berkembang sampai sekarang, dan menjadikan Sendang Siwani sebagai objek wisata spiritual.
Ruwatan Massal
Utamanya setiap datang malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, Sendang Siwani selalu ramai dikunjungi oleh para petirakat dan pelaku spiritual Kejawen. Namun kemudian, hampir pada setiap malam, terlebih pada Bulan Sura, tempat itu selalu ramai dikunjungi orang.
Para pengunjung, berupaya minum dan siram jamas (mandi keramas) memakai air Sendang Siwani. Dengan harapan, doanya terkabulkan. Di Zaman Orde Baru, jalan menuju ke Sendang Siwani termasuk istimewa, karena diaspal dari tikungan Pasar Krisak. Konon, karena tempat tersebut sering dikunjungi pembesar negeri yang suka datang untuk berdoa di Sendang Siwani.
Setiap datang Bulan Sura, di Sendang Siwani digelar ruwatan massal yang diikuti warga dari berbagai daerah. Ritual ruwat massal, digelar pada sore hari, dipimpin oleh Juru Kunci Demang Supardi, sebelum kemudian dilanjutkan pagelaran wayang kulit Lakon Murwakala dan dilanjutkan pentas wayang semalam suntuk.
Bambang Pur