KEDIRI, (SUARABARU.ID) – Arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, menemukan struktur sumber air dari lokasi temuan petirtaan kuno di areal Gunung Klotok (536 meter di atas permukaan laut), Kota Kediri, yakni memiliki dua bilik.
“Progresnya masih 50 persen, kami sudah bisa baca pola petirtaan ini. Memiliki dua bilik, ukurannya tidak sama. Sisi utara lebih besar, sisi selatan ini lebih kecil,” kata arkeolog dari BPCB Jawa Timur Nugroho Harjo Lukito di Kediri, Minggu.
Pihaknya sudah satu pekan melakukan ekskavasi di lokasi petirtaan yang terletak di areal Gunung Klotok Kediri. Namun, untuk saat ini belum diukur karena beberapa sudut dari petirtaan itu belum ditemukan.
Selain itu, pihaknya juga menemukan di bagian tengah sebagai pembagi bilik yang membagi dua struktur tersebut.
Untuk arca pelengkap yang umumnya ditemukan di sebuah petirtaan, Nugroho mengatakan belum ditemukan yang posisinya masih di tempatnya. Pihaknya hanya menemukan satu fragmen bagian belakang jaladwara.
Jaladwara dikatakan adalah binatang bawah yang mirip ikan, mulutnya menganga dan terdapat lubang. Bibir atasnya melingkar ke atas seperti belalai gajah yang diangkat. Pada bagian belakang terdapat ekor panjang yang berfungsi sebagai saluran air dan di tempatkan di sudut-sudut bangunan candi. Jaladwara ini berfungsi untuk menyalurkan air saat hujan.
“Kami temukan satu fragmen bagian belakang jaladwara. Kondisinya pecah. Kami temukan di sisi utara,” kata dia.
Jaladwara, kata dia, biasanya berada pada dinding bilik. Posisi biasanya pada tengah dinding bilik. Keempat sisi petirtaan dari berbagai temuan juga selalu terdapat jaladwara, tergantung melihat seberapa luas dimensi bilik tersebut untuk menentukan jumlah jaladwara yang terpasang.
Dirinya mengungkapkan, jaladwara tidak mengacu pada salah satu aliran, seperti Hindu atau Budha pada zaman tersebut, melainkan berkaitan dengan unsur kehidupan, kesuburan atau berkaitan dengan air.
Terkait dengan masa apa, pihaknya masih melakukan identifikasi. Namun, dilihat dari kumpulan kawasan Gunung Klotok yang di dalamnya banyak arkeologi masa Kerajaan Kadiri, petirtaan ini diduga juga dari masa Kadiri. Hal ini karena masa Kadiri terkenal menghasilkan bangunan yang berkaitan dengan air dan petirtaan. Untuk percandian jarang menemukan yang berasal dari masa Kadiri.
Pihaknya juga memperkirakan petirtaan ini cukup besar, dimensinya hampir 20 meter. Petirtaan ini juga mempunyai kaitan atau korelasi dengan Gua Selomangleng dan Gunung Klotok.
Candi Klotok merupakan tempat peribadatan dan tidak mengacu pada satu aliran, melainkan pada leluhur yang dianggap bersemayam di atas gunung.
“Artinya kan ada proses, prosedur untuk spiritual, terutama di puncak gunung, Candi Klotok. Jadi, ini fungsinya untuk penyucian diri sebelum melakukan religi peribadatan di Gunung Klotok,” kata dia.
Ia menjelaskan, petirtaan kebanyakan tidak jauh dari percandian. Posisinya di bawah percandian dan tidak boleh di bagian atas. Namun, terdapat beberapa petirtaan yang tidak memiliki candi dan hal ini biasanya berkaitan dengan fungsinya yang tidak memiliki konteks petirtaan dalam rangka penyucian diri. Mereka membangun petirtaan itu secara lokus, tidak ada di kanan, kiri atau dekat dekat bangunan.
Di Gunung Klotok dimanfaatkan oleh para resi. Tempat ini disebut wanasrama yang merupakan tempat belajar para resi muda hingga nantinya bisa menjadi resi yang mumpuni, meninggalkan keduniawian. Untuk itu, di Gunung Klotok terlihat lebih sederhana, tidak ada hiasan yang mencolok, indah.
Ia juga menambahkan air yang keluar dari lokasi petirtaan masih bagus karena bersumber dari sumber mata air langsung, namun debitnya kecil.
“Kalau untuk sekarang masih kecil karena distribusi air dari sumbernya itu terpencar. Banyak yang rusak, jadi air ini mencari jalan sendiri-sendiri. Ini potensi sekali. Intake saluran di dalam terukur dan masih ada yang berfungsi. Ada yang tidak berfungsi karena terpotong,” kata dia.
Lokasi petirtaan itu juga cukup dalam tertutup tanah berpasir yang diduga dari material letusan Gunung Kelud (1.731 meter di atas permukaan laut) serta longsor besar yang terjadi sekitar tahun 2004 di Gunung Klotok hingga menutupi struktur tersebut.
Struktur itu tertutup dengan kedalaman hampir 1 meter, sedangkan yang di luar struktur sekitar 30 centimer, di atasnya juga ada sedimen batu besar sisa longsor.
Hingga kini, proses ekskavasi masih berlangsung. Rencananya tahun depan juga akan dilakukan ekskavasi lanjutan guna mengetahui dengan pasti struktur petirtaan tersebut.
Antara