blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

Senin kebak pangati-ati, banyak hal tidak terduga

Siapa pun pasti pernah merasakan makanan yang sedang disantapnya kasinen, dan spontan komentar: “Genah jaluk rabi sing masak iki.” Komentar semacam itu bukan hanya khas Jawa; terbukti pada tahun 2016 ketika selama lebih dari setengah tahun saya berada di Sumba, di warung makan langganan celoteh semacam itu muncul manakala ada makanan tertentu kasinen. Sertamerta penjual tersipu-sipu, lalu berseloroh: “Gak usah bayar deh siang ini.”

Garam memang luar biasa besar manfaatnya, dan penggunaan yang pas/tepat untuk kepentingan apa pun merupakan kunci keluarbiasaan itu. Masakan yang kasinen akan terasa tidak lezat, mungkin tidak akan disantap lagi oleh siapa pun. Dalam ungkapan lurus (wantah) itulah yang disebut uyahe kakehan, yakni garamnya berlebih.

Kondisi kelebihan garam, dalam tatanan etika dan moral kehidupan, bukan pertama-tama untuk makanannya, melainkan diterapkan kepada/untuk manusianya (orangnya); maka muncul ungkapan, misalnya:  “Wah, Badu kae pancen bocah kakehan uyah, tenan.”Sudah barang tentu disebut “bocah kakehan uyah” karena tingkah lakunya, omongannya, ataupun mungkin jalan pikirannya yang berbeda dari orang pada umumnya atau sebayanya.

Gaya berkomunikasi  “kakehan uyah” dewasa ini semakin banyak dipilih orang, dan lama-kelamaan dipakai sebagai “trade mark” dirinya; dan yang menjadi lebih menarik lagi ialah dunia medsos dewasa ini sangat dikuasai oleh group kakehan uyah A berhadapan dengan group kakehan uyah B.

Seru dan hebohlah, dan rasanya dunia sepi kalau tidak ada perseteruan antar-keduanya. Dan rupanya hokum alamnya memang harus begitu, hanya orang-orang tertentu yang bisa “menghadapi” orang-orang tertentu lainnya; hanya orang kakehan uyah yang satu dapat “meladeni” pihak lain yang juga harus kakehan uyah.

Baca Juga: Diuyah-asemi Secara Pas

Pada sisi lain, kita patut bersyukur atas adanya dua kubu wong-wongkakehan uyah,karena kalau yang satu ngomong aneh-aneh begini, lalu sesegera mungkin discounter oleh kubu “lawannya” lewat omongannya yang begitu.

Jadi, kondisinya selalu berada antara yang “begini” dan “begitu” berimbang: Sinis ditanggapi sinis, ngotot dilawan juga dengan ngotot; halus direspons secara halus; begitu seterusnya.

Memang ada yang bertanya-tanya: Apakah sekarang ini zamannya sudah harus begitu ya? Kalau faktanya memang begitu, ya mau tidak mau harus diakui bahwa semuanya bergantung “lagu” yang disetel oleh “pihak sana” apa; kalau bernuansa metal, ya harus diimbangi secara metal juga agar klop. Tidak mungkinlah metal diimbangi oleh langgam keroncong.

Sebenarnya apa sih makna kakehan uyah? Tanpa jawaban jelas pun Anda semua pasti sudah tahu artinya. Salam!!

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)