blank
Ilustrasi (tirto.id)

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

(Senin Kliwon menjelang prei dawa, sapa ora seneng? He..he..he..)

 Pada 31 Agustus lalu, saya tulis perihal “mbiyak wangkong” dan kali ini tentang “nggepok wangkong.” Sama-sama membahas tentang (maaf!) wangkong yaitu bokong atau pantat, namun ada perbedaan substansial atas keduanya.

Seperti pernah saya katakan, ungkapan mbiyak wangkong bermakna ngandhakake wadine liyan yaitu mempergunjingkan rahasia seseorang/orang lain.

Dan memang terbukti, salah satu hobi masyarakat kita kan memang suka mempergunjingkan rahasia orang lain: Seolah-olah tanpa merasa berdosa sedikit pun, wahh…kalau sudah asyik ngember (bacalah seperti Anda mengucapkan bebek), orang lupa apa pun; termasuk lupa bahwa dirinya tidak senang kalau rahasianya diceriterakan kepada orang lain.

Baca Juga: Jaga Tangga: Jangan “Mbiyak Wangkong”

Lain mbiyak wangkong, lain pulalah nggepok wangkong. Bacalah nggepok seperti Anda mengucapkan “mendapatkan uang segepok,” dan arti lurus (wantah) nggepok wangkong  ialah  memegang atau sengaja menyenggol pantat (orang lain).

Bayangkan, betapa kaget dan tersinggungnya bila bokong Anda tiba-tiba digepok orang, dan mana mungkin ada orang yang sengaja memasang bokong sedemikian rupa agar digepok orang. Cari sensasilah kalau ada orang seperti itu.

Adagium nggepok wangkong  lebih “menyinggung” lagi katimbang arti wantahnya tadi; namun tragisnya justru hobi nggepok wangkong rasanya semakin banyak ditemuai saat ini, entah lewat tayangan di televisi (dalam acara tertentu) entah pula lewat medsos.

Apa buktinya? Sekarang ini, sejumlah orang justru merasa sangat bangga kalau bisa omong-omong atau ngobrol-ngobrol dengan sosok tertentu, bahkan bahkan buka-buka aib orang yang diajak ngobrol itu. Mengherankan gak? Sangat mengherankan, karena  inti nggepok wangkong ialah “omong-omongan, nanging buka wadine sing diajak omong.”

Bangga

Lihat saja contoh diskusi yang sering muncul di layar TV, pembicaranya pun hebat-hebat, jago semua dalam berdebat bahkan; tetapi yang sering dianggap sebagai happy ending ialah jika lalu ada pihak yang berhasil nggepok wangkong pihak/orang yang diajak berdebat itu.

Anehnya, orang yang berhasil buka wadine sing diajak omong (dan orangnya ada di hadapannya) bangga setengah hidup, seolah-olah ia bagaikan malaikat yang suci tidak punya noda sekecil apa pun. Aneh pula, penonton senang dengan hal-hal seperti itu. Iki zaman apa..?

Akhir-akhir ini, bukan di layar TV, bukan pula di medsos, bahkan dalam tataran pembicaraan sehari-hari pun, lewat gerakan massa misalnya, happy ending yang seolah-olah ditunggu-tunggu itu kalau dapat buka wadine pihak yang didemo. Weleh-weleh…

Mari kita sadari bersama, bahwa tidak seorang pun senang apabila rahasia dirinya diceriterakan berpanjang-panjang oleh orang lain. Jangankan berpanjang-panjang, berpendek-pendek pun tidak suka.

Dengan kata lain, nggepok wangkong  selayaknya tidak dilakukan oleh siapa pun terhadap siapa pun. Taruhlah Anda saat ini sedang “membenci” seseorang, tetapi hendaklah tidak membuka aib orang itu kapan pun.

Hukum alam telah mengajarkan kepada kita, mungkin sekarang ini Anda sedang sangat benci seseorang; namun suatu saat kelak, pasti Anda akan membutuhkan dia/sosok itu.

Baca Juga: Unjuk Rasa Bikin ‘Kena Awu Anget’

Sekedar misal saja, saat ini mungkin ada pihak sedang tidak suka dengan polisi, tetapi sadarlah bahwa suatu saat nanti Anda pasti membutuhkan polisi. Bahkan jangan-jangan nanti besanan dengan polisi.

Itu hukum alam kehidupan yang mengajarkan kepada kita: Wajar sajalah dan sadarlah bahwa siapa pun memilik rahasia pribadi yang justru harus kita hormati, bukannya sebaliknya.

Sekali pun Anda tahu persis rahasia pribadi si A. namun apa urusan Anda kalau misalnya kemudian nggepok wangkong si A? Mau cari sensasi, atau biar Anda semakin terkenal?

Sekali pun dengan cara nggepok wangkong Anda sontak menjadi terkenal, tetapi ketenaran Anda ora berkahi, ora dadi daging lan mesthi ora suwe. Dadi wong kuwi mbok sing solutif, aja malah seneng nggepok wangkong.

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

 

(JC TukimanTarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)