blank
Presiden AS Donald Trump berbicara di luar Gedung Putih, tempat dia dirawat karena penyakit virus corona, di Washington, AS. Gambar diambil dari video media sosial yang dirilis pada 8 Oktober 2020. Foto: antara

Oleh: Hendra J Kede

KURANG apa lagi data untuk menyakin kalau virus corona itu berbahaya dan mudah
menulari siapa pun tanpa pandang bulu.

Sudah sekitar 37.000.000 (tiga puluh tujuh juta) umat manusia terinfeksi virus
corona di seluruh dunia. Di Amerika Serikat sekitar 7.730.000 (tujuh juta
tujuh ratus tiga puluh ribu) atau sekitar 20,89% di antaranya, merupakan warga
negaranya sendiri (data 11/10/2020).

Saat ini pun sudah sekitar 1.070.000 (satu juta tujuh puluh ribu) jiwa yang
meninggal dunia akibat terinfeksi covid-19 tersebut, hanya dalam rentang waktu
kurang dari setahun. Dan sekitar 214.000 (dua ratus empat belas ribu) atau
sekitar 20% di antaranya warga negara Amerika Serikat sendiri.

Padahal jumlah penduduk Amerika Serikat hanya sekitar 4,29% dari penduduk
dunia. Dan hanya sekitar 320.000.000 (tiga ratus dua puluh juta) penduduk dari
sekitar 7.700.000.000 (tujuh miliar tujuh ratus juta) penduduk dunia.

Tidak berhenti disitu, bahkan dirinya dan istrinya (Donald Trump dan Melania)
pun, juga sudah dihinggapi virus yang belum ada vaksin apalagi obatnya
tersebut. Mereka juga sempat dirawat di rumah sakit malah.

Eh, kok malah masih ngeyel ndak mau mengindahkan seruan World Health
Organization (WHO), terkait protokol kesehatan dimasa pandemi corona ini,
masih ndak mau pakai masker dan dan jaga jarak. Jangan-jangan ndak mau cuci
tangan juga.

Oke deh, anggaplah itu hak azazinya untuk menerima segala risiko atas pilihan
tidak mengindahkan protokol kesehatan tersebut. Lha kan hak azazi orang
sekitarnya juga untuk tidak ditularin corona darinya. Apalagi dokter
kepresiden juga menyatakan sang Presiden positif corona.

Lebih menimbulkan pertanyaan pada penulis adalah, sang Capres Amerika Serikat
dari Petahana tersebut, sampai-sampai tidak mau berpartisipasi dalam debat
kedua antar-capres, hanya karena penyelenggara melaksanakannya secara virtual,
tidak ketemu langsung. Padahal alasan panitia jelas, kan sang petahana positif
corona, ya jangan sampai nularin orang sekitarnya dong, kalau debat ketemu
langsung.

Bukankah mau langsung atau virtual itu sarana doang untuk memenuhi hak
masyarakat untuk tahu visi dan misi sang kandidat presiden? Hak azazi
masyarakat untuk tahu dalam kontestasi Pilpres kok bisa dikesampingkan hanya
karena urusan teknis penyelenggaraan debat?

Katanya negara kampiunnya demokrasi in the world, katanya sih. Walaupun
penulis masih bingung, makna kampiun demokrasi itu saat mengetahui sang
pemenang Pilpres tersebut 4 (empat) tahun lalu, setidaknya didukung 3 (tiga)
juta lebih sedikit pemilih, yang menggunakan hak pilihnya dibanding Capres
yang kalah.

Nampaknya Pak Donald Trump tidak saja perlu memahami azas ekonomi dan politik,
namun perlu juga meresapi dan merenungkan juga azas hukum tertinggi yang
bersifat universal, yang bahkan lebih tinggi dari Konstitusi ini : Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Apalagi untuk menjalankan azaz hukum tertinggi tersebut tidaklah susah, bahkan gampang sekali : pakai masker dan jaga jarak.

Kalau hal gitu aja ndak mau, ya namanya kebangetan. Kebangetan karena tega-teganya mengesampingkan hukum tertinggi dan bermain api dengan keselamatan warganya sendiri.

Ndak tahu bagaimana masyarakat Amerika sana mengeksresikannya, biasanya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Tengah, tempat penulis tinggal, sambil mengelus dada masyarakat mengeluhkannya dalam kalimat : “Duh Gustiiii… ini kok Presiden kebangetan… paringono eliiinnng.. “

Hendra J Kede, Ketua Bidang Hukum dan Legislasi PP KBPII /Ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI 2003-2008 & 2008-2013