blank
Ilustrasi

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

(Senin Pahing, hari Senin di minggu terakhir September ceria; begitu kan?)

Kalau kita bicara tentang kayu aking,  sebenarnya kita sedang mempermasalahkan atau bahkan mengungkit dan mengangkat perihal orang atau hal yang telah tiada. Ada dua ungkapan saling tarik-menarik tentangnya; yakni sendhen kayu aking (bacalah sendhen seperti Anda mengucapkan bebek) yang maksudnya menggambarkan (menyindir??) orang yang selalu atetameng wong (perkara) sing wis mati.

Contohnya, ada orang yang setiap kali berbicara selalu menyebut nama (besar) seseorang yang sudah almarhum, entah mengaku dirinya anak keturunannya, atau mengatakan bahwa dialah pendamping setia orang itu, dulunya. Disamping nama orang (yang telah meninggal) itu dipakai sebagai tameng, bisa terjadi dipakai sebagai payung.

Ungkapan satunya ialah judul di atas, nggugat kayu aking. Nuansanya tetap berkaitan dengan orang tau hal yang sudah tiada, namun dalam hal ini, nggugat kayu aking lebih kepada memperkarakan atau menggugat orang/perkara yang sudah mati. Misalnya, sithik-sithik ngomongke PKI, atau jargon-jargon analisis dan cara berpikirnya selalu menggunakan frame PKI.

Tentu orang bertanya-tanya: Mengapa orang atau perkara yang sudah tiada masih dibawa-bawa atau dipakai sebagai bahan gugatan, dan seolah-olah mengesankan betapa gugatan itu sangat relevan saat ini? Ada maksud apa di balik gugatannya itu?

Masa Lalu

Terbuktilah betapa masa lalu itu sangat memengaruhi dan terbawa-bawa sampai masa kini, entah masa lalu yang dikenang (manis) lalu dibawa-bawa sebagai tameng dan payung kehidupan seseorang/kelompok; entah pula masa lalu yang dirasakannya sebagai kepahitan hidup lalu setiap kali “digerutui” bahkan digugat seraya berpikir-membayang-melayang: “Karena dialah saya sekarang mengalami nasib (jelek?) seperi ini.”

Masa lalu terbukti juga tidak bisa terhapus oleh masa kini dan masa mendatang, padahal tidak kurang ajaran moral yang sering mengatakan: Mengapa terpenjara oleh masa lalu; Sing wis ya uwis; duren-duren, roti-roti, biyen ya biyen, saiki ya saiki.

Move on yuk. Gampangkah kata-kata itu lalu mengubah orang lain bersemangat move on? Tidak juga, sekali pun misalnya orang itu dulunya pernah menjabat ini menjabat itu, di pundaknya bertengger berbagai pangkat ataupun tanda jasa. Terbukti, lagu senandungnya setiap saat ya…”Aku masih seperti yang dulu.”

“Masa lalumu membelenggumu,” begitulah ungkapan pas bagi mereka yang senang nggugat kayu aking; dan mungkin akan semakin “tragik” ketika masa lalu yang membelenggu itu dipakai sebagai landasan berjuang untuk meraih suatu cita-cita di masa depan.

Mengapa tragik? Orang yang sedang terkungkung oleh suasana  nggugat kayu aking, menyatukan masa lalu dan masa kininya serta merta dipakai sebagai untuk fondasi masa depannya.

Dengan kata lain, orang semacam itu tidak menghayati masa kininya secara riil,  sebab yang dihayati terus adalah masa lalunya di masa kini. Masuk kategori mimpi di siang bolongkah? Entahlah, barangkali jabawabannya sama dengan pertanyaan: Mengapa tanaman janda bolong harganya melejit bikin bolong dompet dan ATM?

Move On Yuk

Kendati ajakan move on yuk justru dapat menyinggung perasaan orang yang sedang asyik-masyuk  nggugat kayu aking, namun dalam kehidupan sosial senantiasa ada kewajiban moral dan kewajiban sosial untuk mengingatkan siapa yang mungkin sedang lupa; atau meluruskan hal-hal yang kiranya bengkong; serta meratakan jalan yang barangkali penuh lubang bahkan jurang.

Baca Juga: Masker Oh Masker: Kok Dadi Gawe?

Kehidupan sosial memberi peluang sama kepada kopral untuk kalau perlu mengingatkan jendral, bagi jongos mengingat bos, atau pangkat babu tetapi mengingatkan babe.

Itulah keutamaan hidup sosial, mereka yang ternyata masih suka bermimpi di siang bolong, dibangunkan betapa saat ini ada janda bolong melangit harganya; karena itu jauh lebih baik bisnislah janda bolong daripada nggugat kayu aking  dan bermimpi di siang bolong, misalnya.

Risiko dari mengingatkan semacam ini, – tadi sudah disebutkan – , orang yang bersangkutan mungkin tersinggung, mungkin juga marah; tetapi keutamaan kehidupan bersama dibekali oleh penggalan lagu yang dimodifikasi ini: Ingin marah, silakan; ingin tersinggung, silakan; asal jangan kau putuskan cintamu …Ohhh…

Nggugat kayu aking kalau tidak disertai gentur tapane, sangat boleh jadi ora kuwat lho, tenan!!

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)