Oleh: Amir Machmud NS
//…dia telah jauh berpetualang// menempuh jarak// menaklukkan ruang dan waktu// untuk meraih tempat// di habitat keperayaan diri// datang dari benua yang masih juga dipinggirkan// bermimpilah kawan// kau simak auranya// ada pancaran kemenangan// untuk sebuah pembuktian…// (Sajak “Son Kesatria Taeguk”, 2020)
TAK perlu lagi perdebatan lebih panjang, dan simpulkanlah tanpa ragu: Son Heung-min adalah Kesatria Utama dalam sejarah sepak bola Asia.
Anda berhak menderetkan data, dari Okudera, Cha Bum-keun, Ali Daei, Mehdi Mahdavikia, Vahid Hashemian, Park Joo-bong, Hidetoshi Nakata, Sunshuke Nakamura, Fuad Amin, Omar Abdulrahman (yang tak pernah bermain di klub Eropa), Keisuke Honda, Yuto Nagatomo, Shinji Kagawa, Takumi Minamino, hingga Yakefusa Kubo; namun menyebut Son Heun-min adalah sebuah pengecualian.
Tertempa di Hamburg SV dan Bayer Leverkusen, kini Son meroket bersama Tottenham Hotspur. Meskipun belum memberikan trofi, aksi-aksi individu dan produktivitas dari musim ke musim telah memberi Son posisi khusus di antara para bintang dunia. Kemampuan mencetak gol dari proses solo run meliuk-likuk ala bintang besar Brazil Ronaldo Luis Nazario memberi Son julukan “Sonaldo”. Kehebatan dalam mengiris-iris wilayah sayap juga membuatnya diidentikkan dengan Ronaldo Portugal, Cristiano.
Energitas, determinasi, dan gaya pemain 28 tahun itu segera membuat dunia mengalihkan perhatian, setelah Kesatria Taeguk lainnya, Park Ji-sung gantung sepatu. Park meroket di PSV Eindhoven sebelum memuncak bersama Manchester United dengan karakter bagai “bernyawa rangkap”. Oleh Sir Alex Ferguson, Park yang berfisik kuat dipuji sebagai “Three Lung Park” atau pemain dengan tiga paru-paru.
Gaya Son dengan dribling maut lebih sedap dilihat. Saya tak ragu menyebutnya sebagai salah satu pemain terbaik Asia yang pernah ada. Dia adalah jenis pemain dengan bakat, visi, dan kejeniusan ala Omar Abdulrahman, talenta terbaik dalam sejarah Uni Emirat Arab pada awal 2000-an.
* * *
APA yang dapat Anda simak dari kuatrik (empat gol) Son Heung-min dalam pertandingan Liga Primer melawan Southampton di Stadion St Mary’s, akhir pekan lalu?
Berulang-ulang dari youtube saya menikmati aksi Son. Semuanya “gol gila”, lahir dari proses-proses “gila”, dengan kemampuan eksekusi yang juga “gila”. Dengan kompetensi sekelas itu, andai Son bermain untuk klub yang punya atmosfer meraih gelar, pintu meraih pengakuan Ballon d’Or bukan mustahil bisa dia dapatkan.
Masalahnya, Tottenham Hotspur masih terkungkung dalam “tradisi nyaris”, termasuk ketika melaju hingga final Liga Champions 2018-2019 sebelum dikalahkan Liverpool. The Lilywhites hanya menyuguhkan penampilan atraktif dan sedap ditonton, tetapi belum sampai ke kompetensi meraih trofi.
Apakah dengan performa Son yang melesat dan konsisten, juga Harry Kane yang makin matang dan mendapat suntikan kehadiran Gareth Bale, The Spurs bakal menghadirkan tradisi baru, masih harus kita nantikan.
Son — yang menenggelamkan Jerman dengan kemenangan 2-0 di Piala Dunia 2018 — telah menjadi ikon utama Spurs bersama Kane. Pada saat yang bersamaan, dia mewakili ketersebaran para pemain Asia, terutama Asia Timur yang makin menjadi kunci permainan di klub-klub besar. Korea dan Jepang menjadi sumber pilar dengan talenta-talenta yang mampu bersaing menegakkan harga diri.
Pada masa-masa para pemain Asia bertebaran di banyak klub Eropa, mulanya yang berlangsung adalah agenda-agenda “politik komersial” manajemen klub, untuk menggarap pasar siaran televisi dan merchandise-nya. Sejarah pun rupanya bergerak dan berpihak. Perlahan tapi pasti, para bintang Asia berkembang menjadi kebutuhan mutlak skema permainan di sejumlah klub besar.
Son adalah salah satu bukti, betapa keberadaannya di Tottenham Hotspur betul-betul merupakan kunci. Dengan kemampuannya, dia dibutuhkan siapa pun yang mengarsiteki Tottenham, baik (dulu) Mauricio Pochettino maupun (kini) Jose Mourinho.
Di tengah budaya bersepak bola para bintang, tak sedikit yang mengekspresikan permainan dengan aura kegembiraan, dan Son adalah salah satunya. Passion dan determinasinya menggambarkan energitas. Wajahnya gembira. Raut positif ini sungguh menyenangkan untuk melihat sepak bola bukan sekadar sebagai permainan dan kompetisi, melainkan kepribadian dan penyikapan para pelakunya.
Dia, yang disebut-sebut suka kehidupan ala para bintang K-Pop, pernah dikritik cenderung malas berlatih, suka unjuk sikap ogah-ogahan; tetapi apakah kita akan serta merta menstigmatisasi seperti itu ketika melihat kiprah Son dari jengkal ke jengkal lapangan, dari garis skema ke garis skema, dari areal gol ke areal golnya?
Kerja samanya dengan Harry Kane, yang memberi empat assist dalam laga melawan Southampton, adalah kegembiraan bertelepati dalam kerancakan kerja sama permainan. Keduanya saling memberi dan menuntaskan. Kane yang lebih dikenal sebagai eksekutor, kali ini betul-betul melayani, dan Son menjadi malaikat pencabut nyawa berwajah gembira hampir di sepanjang laga.
Sepak bola Korea dikenal dengan etos kerja dan spirit tak kenal menyerah. Ginseng menjadi ikon herbal penguat daya tahan orang-orang Korea. Cerminan katakter Negeri Taeguk itu tak menyerupai melankolisme drama K-Pop yang mengharu biru dunia, namun dapat disimak dari determinasi seorang Son Heung-min yang menaklukkan benua sepak bola. Dari budaya pop Korea, yang diserap ke lapangan sepak bola justru adalah energitasnya.
Son Heung-min boleh berasal-usul dari negeri yang bagaimanapun masih dianggap “kelas dua” dalam sepak bola dunia, akan tetapi etos kerja dan kompetensinya telah melewati batas-batas kesiapan untuk masuk ke sebuah era pencerahan.
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng