blank
Ketua Umum Jayanusa, Idham Cholid. Foto : SB/dok
Oleh: Idham Cholid

Hari ini kita merayakan tahun baru Hijriyah. Tentu beda cara merayakannya, apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Kenapa tahun baru umat Islam disebut Hijriyah, yang mendasarkan pada hijrah Nabi? Kenapa tidak berdasarkan pada kelahirannya sehingga pasti akan sangat meriah karena selama ini sudah ditradisikan memperingatinya dengan Maulid Nabi?

Alasan ini harus diketahui. Bahwa kelahiran Nabi Saw sebagaimana juga kita, sangat “normal” secara kemanusiaan. Meskipun sangat istimewa, Nabi Saw tetap mempunyai ayah yaitu Sayyid Abdullah. Inilah yang membedakannya dengan Isa bin Maryam. Kelahirannya tanpa seorang ayah.

Memang tidak sedikit bayi lahir tanpa seorang ayah. Apalagi saat ini dimana pergaulan bebas memang sudah menjadi-jadi. Namun sejarah mencatat, Maryam selama hidupnya selalu “menyendiri” di tengah keramaian jamaah kebaktian.

Dia selalu khusyu’ menghadapkan hati kepada Yang Maha Suci. Perempuan suci ini hamil tanpa “pergaulan” dengan lelaki manapun. Dia melahirkan al-Masih tanpa melalui proses persetubuhan.

Maka tahun Masehi kita menyebutnya dengan Miladiyah, karena mendasarkan pada keistimewaan lahirnya orang suci, dari perempuan suci dan dijamin kesuciannya oleh Yang Maha Suci tersebut.

Tahun Hijriyah, sekali lagi, tidak didasarkan pada kelahiran Nabi Saw. Disebut Hijriyah karena penanggalannya mendasarkan pada peristiwa hijrah Nabi Saw dari Mekah ke Madinah. Adalah Sayyidina Umar bin Khattab, orang yang berjasa besar dalam soal ini.

blank
Ucapan Selamat 1 Muharram 1442 H, Satu Tekad Harus Lebih Baik. Foto : SB/dok

Di era kekhalifahannya inilah penanggalan Islam tersebut diresmikan. Namun umat Islam takkan pernah lupa bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya mempunyai ide cerdas itu. Sepupu sekaligus menantu Nabi ini sangat memahami bagaimana kondisi perjuangan umat Islam.

Dia yang sehari-hari juga menjadi sekretaris pribadi Nabi paham betul, dari mana perubahan itu mesti dilakukan!

Hijrah secara fisik memang sekedar perpindahan, dari satu tempat ke tempat yang lain, sebagaimana hijrah Nabi dan kaum muslimin dari Mekah ke Madinah.

Namun pada saat itu tidak semua “berkenan” untuk berhijrah, terutama mereka yang masih terasa berat dengan harta dan hubungan kekerabatannya.

Di sinilah hijrah menemukan makna batin menyangkut perubahan pandangan dan sikap bahwa yang lebih baik telah dibentangkan Tuhan di depan.
Keyakinan seperti ini bukan utopia belaka, tetapi optimisme karena keimanan yang menyala.

Begitulah hijrah, merupakan titik balik kemenangan umat Islam. Kurang dari sewindu setelah peristiwa itu Nabi dan kaum muslimin telah bisa “kembali” merebut Mekah tanpa pertumpahan darah.

Di sinilah hijrah menjadi fondasi kemenangan sejati. Menang tanpa sekedar menguasai. Namun kemenangan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Menang dengan prinsip kebersamaan.

Begitulah seharusnya hijrah ditanamkan. Melakukan perubahan, dimulai dari diri sendiri, dan tidak menunggu nanti. Inilah esensi hijrah, menjauhkan diri dari sikap tak terpuji. “Orang yang berhijrah” (muhajir), kata Nabi, “adalah orang yang meninggalkan apapun yang dilarang Tuhan” (Hr. Imam Bukhari). Satu tekad, harus lebih baik!

Kalisuren, 1 Muharram 1442
(20 Agustus 2020)

(Idham Cholid, Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (Jayanusa)