MAGELANG (SUARABARU.ID) Pria yang lahir pada 9 Agustus 1975 ini bernama Darmanto. Kini dia membuka usaha las Ngudi Rejeki di Jalan Sentanu kilometer 4 Borobudur, atau di dekat Perempatan Nggayu, Karangjati, Desa Wringinputih, Borobudur, Kabupaten Magelang.
Bapak dari empat putera ini sebenarnya ketika lahir dalam keadaan normal. Tetapi sejak usia tiga tahun terkena sakit polio, kemudian kakinya menjadi cacat. Hingga akhirnya sampai sekarang tidak bisa berjalan kaki. Kalau tanpa sarana apa pun dia hanya bisa merangkak dengan kedua tangannya.
Kendati kondisinya seperti itu, pemilik hoby catur ini tidak mau tinggal diam. Dia menempuh pendidikan formal sampai SMP khusus. Cita-cita dia ingin hidup layak seperti orang normal dan ingin mandiri, tidak bergantung pada orang lain.
“Sejak umur delapan tahun saya punya cita-cita ingin mandiri, tidak menyusahkan orang lain. Bagaimana bisa menghidupi diri sendiri,” katanya.
Sejalan dengan itu, setelah lulus SMP dia mengikuti pendidikan di Yakkum, Jalan Kaliurang, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Dia mengambil jurusan kerajinan selama tiga tahun. Selepas dari sana dia pun mulai bekerja sebagai pelukis tiga dimensi.
Meski hanya menerima pesanan dari rumah, sudah ratusan lukisan dia kerjakan. “Paling berkesan terhadap lukisan suasana Mampang Praparan Jakarta dan lukisan tiga dimensi Rujak Uleg dan Gerobag Sapi,” tuturnya.
Sepeda Motor
Profesi pria ini mulai berubah ketika tahun 2011 ada salah satu kaum difabel (memiliki keterbatasan diri) mengeluh ingin punya sepeda motor roda tiga yang bisa dikendarai difabel. Kebetulan ketika itu dia sudah bergabung di organisasi difabel Warsa Mundung yang merupakan kependekan nama sejumlah kecamatan di Kabupaten Magelang, yakni Ngluwar, Salam, Muntilan, Dukun, dan Srumbung.
Organisasi itu merupakan wadah untuk sharing punya kemauan apa, juga wadah untuk kumpul-kumpul dan menjembatani kaum difabel yang belum tersentuh sehingga haknya bisa terpenuhi.
Sejak itu dia berusaha memproduksi sepeda motor roda tiga. “Tanpa belajar langsung bisa membuat dan sampai sekarang tidak pernah ada komplain,” katanya.
Kini malah dia memiliki tiga pekerja yang terdiri Didik, Fajar, dan Yono, ketiganya bukan orang difabel. Bahkan tidak hanya membuat sarana transportasi bagi kaum difabel. Kini juga mengerjakan pengelasan dan perbaikan berbagai sarana rumah tangga seperti pintu gerbang.maupun doortrim.
“Semua pekerjaan saya tawarkan dengan harga murah,” tuturnya.
Sejauh ini dia sudah memproduksi ratusan motor roda tiga untuk difabel. Dia pernah mendapat pesanan 50 buah dari pemerintah. Sedangkan sepeda motor yang roda samping sudah membuat 300-an unit.
Menurut dia mandiri itu penting karena kaum difabel juga punya hak berkeluarga dan punya hak untuk hidup layak. Kini rata-rata, kata dia, di tiap daerah jumlah kaum difabelnya sekitar lima ribu orang. Baik cacat tubuh, netra (mata), rungu (telinga), maupun cacat kaki.
Eko Priyono