KOTA PEKANBARU (SUARABARU.ID) – Pakar hukum pidana dari Universitas Riau, Dr Erdianto Effendy SH, MHum mengatakan, jika negara mampu bisa mencontoh negara maju, sehingga napi yang menjalani pidana bersyarat diberi gelang chip.
“Gelang chip ini dapat menjadi kontrol atau pengawasan bagi tahanan atau narapidana bersyarat,” kata Erdianto dalam keterangannya, di Pekanbaru, Senin.
Pendapat itu disampaikannya terkait Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) melepas sebanyak 22.158 narapidana dan anak yang dipidana di seluruh Indonesia, terkait upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19 di lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan lembaga pembinaan khusus anak (LPKA).
Menurut dia, selain pemberian gelang chip itu, maka publik perlu diberitahu bahwa pembebasan bersyarat adalah alternatif pidana dan bukan bebas sepenuhnya. Sebab, katanya menyebutkan, dalam masa asimilasi dan bebas bersyarat, kebebasan mereka tetap dibatasi khususnya di dalam rumah saja seperti konsep pidana tutupan tetapi di dalam rumahnya sendiri.
“Karena dalam keadaan saat menghadapi pandemi COVID-19, kini orang yang tidak menjalani pidana saja juga dibatasi kebebasannya untuk tidak bepergian kemana-mana,” katanya pula.
Ia menjelaskan bahwa terkait penyebaran COVID-19, maka untuk mengatasi penyebarannya dengan cara melarang kerumunan, padahal kapasitas umumnya melebihi daya tampung di lembaga pemasyarakatan.
Untuk mengatasi over kapasitas lembaga pemasyarakatan, hal yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah penambahan lembaga pemasyarakatan dan perluasan gedung lembaga pemasyarakatan, katanya lagi.
Selain itu, ujar dia pula, penambahan jumlah rumah tahanan negara, sehingga tidak lagi bercampur antara narapidana dengan tahanan, perumusan kebijakan pembatasan perkara yang dapat diadili di pengadilan formal, masalah-masalah yang sederhana seharusnya cukup diselesaikan dengan penyelesaian secara adat.
“Perumusan kebijakan tentang penahanan bahwa tidak setiap tindak pidana pelakunya harus ditahan, karena penahanan adalah kewenangan yang jika tidak diperlukan seharusnya tidak dilakukan. Kebijakan tersebut sudah seharusnya dilakukan sejak dahulu. Sejak tahun 1962, Sahardjo yang dikenal sebagai Bapak Pemasyarakatan mencatat bahwa penahanan sebagai sumber masalah yang menjadi penyebab over kapasitas,” katanya pula.
Berhadapan dengan kenyataan saat ini dimana semua lapas mengalami over kapasitas, menurut dia, tidak lagi mungkin kita menambahkan jumlah lapas atau memperluas bangunan lapas dalam waktu dekat, maka harus diambil tindakan darurat. Dalam hal keadaan darurat berlaku prinsip in dubio pro reo, dalam hal keraguan, maka warga negara harus diuntungkan.
Namun demikian, tetap harus dipertimbangkan dua kepentingan, yaitu kepentingan penghukuman kepada pelaku dan kepentingan keselamatan dari penyebaran virus, ujar dia pula.
“Berhadapan dengan kenyataan ini, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengeluarkan narapidana dari lembaga pemasyarakatan, keselamatan warga negara dalam hal ini warga binaan pemasyarakatan lebih utama daripada proses penghukuman itu sendiri, makanya harus ada pembatasan yang ketat, tidak sembarang narapidana dapat dibebaskan,” katanya lagi.
Prinsip pembebasan juga tidak boleh melanggar hukum atau mendobrak ketentuan perundang-undangan yang ada, harus dilakukan menurut cara yang diatur perundang-undangan yang berlaku, dan lembaga yang dapat menampung keadaan ini yaitu asimilasi dan pembebasan bersyarat.
“Prinsip utama yang harus dilihat adalah pemberian bebas bersyarat dan asimilasi harus diberikan kepada mereka yang sudah menjalani lebih dari 2/3 masa pidana,” katanya pula.
Ant/Muha