JAKARTA (SUARABARU.ID)– Dengan suka cita, Direktur Utama PT Pertamina 2009-2014 Karen Galaila Agustiawan keluar dari Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung pada Selasa (9/3) malam.
Suami, anak serta cucu yang ingin segera berkumpul kembali dengan perempuan pertama yang menempati pucuk pimpinan di Pertamina itu telah menunggunya.
Sesaat setelah keluar rutan, Karen Agustiawan pun mengaku kangen dengan suaminya setelah selama satu tahun lima bulan berada di Rutan Salemba cabang Kejagung dan Rutan Perempuan Pondok Bambu.
Alumni Institut Teknologi Bandung itu mengaku ingin segera mengganti waktu yang terbuang di balik jeruji besi dengan berkumpul bersama keluarga.
Dia mengungkapkan selama satu setengah tahun saya sudah dirampas haknya, sehingga ingin mengembalikan waktunya bersama dengan suami, itu dulu.
Tidak lama sebelum dipenuhi kebahagiaan karena diputus lepas dari semua tuntutan hukim, Karen Agustiawan mengaku dendam dan merasa getir.
Ia pun kecewa karena tindak pidana yang didakwakan kepadanya merupakan aksi korporasi atau business judgement rule yang semestinya berada dalam domain hukum perdata. Namun, perkara itu dinilainya dipaksakan masuk ke dalam domain hukum pidana.
Akibatnya, menurut dia, nama baiknya dan prestasinya rusak, karakter individu hancur, digantikan dengan penyematan sebutan koruptor.
Meski merasa tidak mendapat keadilan di sisi hulu dengan vonis bersalah, ia bersyukur mendapat keadilan di sisi hilir dengan kasasi yang dikabulkan.
Dengan pengalaman yang dialaminya itu, ia berharap hukum di Indonesia lebih profesional, cermat, lengkap, berkeadilan dan tidak serampangan. “Saya mohon juga tidak ada aroma politik,” ujar perempuan kelahiran Bandung itu.
Kronologi kasus Karen
Dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam proses “participating interest” (PI) atas blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009 itu, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 14 Juni 2019 memvonis Karen Agustiawan dan kawan-kawan bersalah.
Majelis hakim menilai Karen dan dua rekan kerja lain memutuskan melakukan investasi participating interest di blok BMG Australia tanpa adanya due dilligence dan analisa risiko yang ditindaklanjuti dengan penandatangan Sale Purchase Agreement (SPA) tanpa ada persetujuan bagian legal dan Dewan Komisaris PT Pertamina.
Atas tindakannya itu, Karen dan kawan-kawan dinilai memperkaya diri sendiri atau orang lain, yakni ROC Oil Company (ROC) Limited Australia dan merugikan keuangan negara sebesar Rp568,066 miliar.
Vonis yang dijatuhkan kepada Karen adalah delapan tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider empat bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan korupsi dalam proses participating interest (PI) atas blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009.
Putusan itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung yang menuntut Karen selama 15 tahun penjara serta pidana denda sejumlah Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan ditambah hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti sejumlah Rp284 miliar.
Atas putusan itu, JPU Kejaksaan Agung mau pun Karen mengajukan banding.
Selanjutnya terhadap banding itu, Pengadilan Tinggi Jakarta dengan majelis hakim yang terdiri atas Ester Siregar selaku ketua, James Butar Butar dan Purnomo Rijadi pada 24 September 2019 memutuskan untuk menerima permintaan banding Karen.
Persyaratan formal banding diterima, tetapi substansi banding menguatkan putusan Pengadilan Tipikor sehingga Karen tetap harus menjalani hukuman pidana selama delapan tahun penjara ditambah uang pengganti sejumlah Rp284 miliar.
Namun, ada satu hakim ad hoc, yakni Anwar yang menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion).
”Menyatakan terdakwa Karen Galiala Agustiawan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan dakwaan primer dan dakwaan subsider,” kata hakim Anwar.
Terkait perkara tersebut, dua orang yang disebut bersama-sama melakukan korupsi bersama Karen sudah divonis bersalah.
Keduanya adalah Manager Merger dan Akusisi PT Pertamina 2008-2010 Bayu Kristanto divonis bersalah dan dijatuhi pidana penjara selama delapan tahun ditambah denda Rp1 miliar subsider empat bulan kurungan.
Kemudian mantan Direktur Keuangan PT Pertamina Ferederick ST Siahaan divonis 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Atas vonis Pengadilan Tinggi Jakarta itu, baik Karen mau pun JPU Kejaksaan Agung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Agung
Harapan Karen meninggalkan hotel prodeo kemudian terkabul pada Senin (9/3) setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasinya dan menolak kasasi yang diajukan JPU Kejaksaan Agung.
Majelis kasasi yang diketuai Suhadi serta didampingi hakim anggota Prof. Krisna Harahap, Prof. Abdul Latif, Prof. Mohammad Askin dan Sofyan Sitompul memutus lepas Karen dari semua tuntutan hukum.
Karen dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan jaksa penuntut umum, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana.
Pertimbangan majelis kasasi adalah tindakan yang dilakukan terdakwa Karen adalah bussiness judgement rule, putusan direksi dalam suatu aktivitas perseroan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, meski pada akhirnya keputusan itu menimbulkan kerugian pada perseroan.
”Itu merupakan risiko bisnis. Bertolak dari karakteristik bisnis yang sulit untuk diprediksi dan tidak dapat ditentukan secara pasti,” tutur Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro.
Selain itu, Mahkamah Agung menetapkan sebanyak 277 barang bukti dalam perkara Karen diserahkan kepada jaksa penuntut umum untuk dipergunakan dalam perkara lain.
Ada pun putusan Mahkamah Agung itu sekaligus membuka ruang untuk Karen Agustiawan yang ingin menyumbangkan pikiran dan kreativitas untuk Ibu Pertiwi dengan caranya sendiri.
Ant/Muha