Pengantar Redaksi : secara rutin redaksi SB akan memuat karya peserta SJPWI-FH Unissula Angkatan VIII, seperti di bawah ini salah satu karya mahasiswa kelompok bimbingan Dr. Ira Alia Maerani.
Sanksi Tegas Bagi Perusak Hutan
Oleh:
Ira Alia Maerani & Putty Maulida YS
Teori dunia tanpa batas (the borderless of world) nampaknya berlaku bagi kepungan asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Bagaimana tidak? Asap melintasi batas negara Indonesia, Malaysia, Singapura hingga Filipina. Beberapa wilayah di nusantara seperti Riau masih “mengekspor” asap ke negara tetangga. Akibat yang ditimbulkan sangat merugikan. Hubungan bilateral antar negara terganggu. Tuntuan membayar ganti kerugian. Penyakit inefeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan asma memuncak. Hingga berakhir dengan kematian.
Permasalahan lingkungan hidup karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berakibat sangat serius terhadap kesehatan lingkungan ini nampaknya perlu penanganan terorganisir, sistematis dan lintas negara. Konsep one world, one nation penting dibangun antar negara-negara di dunia. Contoh dalam kasus kabut asap ini. Dimana titik asap ada di wilayah Indonesia seperti Riau, Jambi dan beberapa daerah lainnya di Indonesia. Akan tetapi imbas yang dirasakan hingga ke negeri tetangga. Jutaan manusia mengalami gangguan pernapasan dan gangguan kesehatan lainnya.
Oleh karena itu, itikad baik para pemimpin negara dalam menuntasan masalah perusakan lingkungan dan upaya penyelesaiannya perlu ditingkatkan. Ketegasan sanksi bagi perusak lingkungan perlu ditegakkan. Kalau perlu menjadikan mereka para perusak lingkungan dan perusak hutan ini menjadi “public enemy.” Musuh bersama seluruh dunia karena telah mengancam kehidupan dunia dimana setiap makhluk hidup memiliki hak untuk menikmati udara yang bersih dan bebas dari polusi apapun.
Ketegasan sanksi pada perusak hutan ini patut dilakukan. Tindak pidana perusakan lingkungan kalau perlu dijadikan extra ordinary crime. Kejahatan luar biasa. Diindikasikan pelaku pembukaan lahan dengan cara membakar hutan ini tidak hanya dilakukan oleh individu (orang perorang), tetapi juga diduga melibatkan korporasi perusahaan besar sebagai pelaku tindak pidana. Bukan kejahatan sepele. Tapi berhadapan dengan pengusaha besar yang memiliki modal bejibun. Oleh karena itu penanganannya pun harus serius. Seluruh penegak hukum berjibaku menuntaskan penegakan hukum bagi perusak hutan ini. Ketegasan penegakan hukum dengan sanksi pidana yang membuat para pelaku jera. Di samping memberikan efek jera bagi yang lain agar tidak melakukan perbuatan perusakan hutan ini.
Bencana kabut asap yang membuat gangguan pernapasan dan gangguan kesehatan ini dalam Al Qur’an sudah diperingatkan oleh ALLAH SWT di dalam surat Ar Ruum Ayat 41. Artinya, “Dimana telah nampak kerusakan di darat dan laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. ALLAH menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Oleh karena itu bagi pelaku tindak pidana perusakan hutan ini yang telah memberikan andil besar bagi perusakan lingkungan dan ekosistem ini patut diberikan sanksi pidana yang tegas. Tujuannya adalah agar mereka kembali ke jalan yang benar. Lalu, apakah sanksi bagi pelaku tindak pidana perusakan hutan ini?
Regulasi Terkait
Terhadap tindak pidana perusakan hutan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pasal 82 hingga 109 UU No. 18 Tahun 2003 memberikan ancaman baik dalam bentuk pidana penjara maupun pidana denda. Dengan ancaman minimum khusus dan maksimal khusus. Subyek atau pelaku tindak pidana terdiri dari orang perseorangan dan korporasi.
Akan tetapi jika terjadi sebuah sengketa di bidang lingkungan seperti halnya kasus pencemaran lingkungan, maka pemerintah dapat melakukan upaya-upaya hukum dalam menyelesaikan perkara dalam hal meminta pemulihan lingkungan dan/atau ganti rugi diakibatkan dari pencemaran lingkungan.
Upaya penyelesaian hukum di bidang lingkungan dapat ditempuh dengan dua cara. Yakni melalui jalur litigasi atau melalui pengadilan maupun non litigasi atau di luar pengadilan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 84 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat menggunakan jasa arbiter dan/atau mediator. Terbatas dalam rangka mencapai kesepakatan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi; pemulihan lingkungan akibat pencemaran; menjamin tidak terulangnya perusakan dan/atau pencemaran; dan mencegah timbulnya dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Oleh karena itu penyelesaian perkara di luar pengadilan ini tidak terkait tindak pidana lingkungan hidup.
UU No. 32 Tahun 2009 ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum. Baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi. Pengajuan gugatan lingkungan ke pengadilan adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mencegah eigenrichting (perbuatan main hakim sendiri).
Sehingga diharapkan dengan ketegasan penegakan hukum dan penjatuhan sanksi pada para pelaku perusak hutan dan pelaku pencemaran lingkungan ini akan memberikan efek jera dan berimplikasi positif terhadap kelestarian hutan dan lingkungan hidup yang sehat. (Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. (dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang) dan Putty Maulida YS/mahasiswa Fakultas Hukum UNISSULA Semarang).
Suarabaru.id