SEMARANG – Terkait tindakan represif dan penghinaan rasial kepada mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019, sejumlah pihak angkat suara mengecam dan memprotes atas peristiwa tersebut. Beberapa di antaranya bahkan sangat menyayangkan terjadinya konflik yang bisa memecah persatuan negara kesatuan Republik Indonesia.
Seperti yang diutarakan Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Kota Semarang, mereka sangat menyanyangkan terjadinya konflik yang berbau rasial atas sejumlah mahasiswa Papua yang sedang menuntut ilmu di Kota Surabaya.
Setyawan Budy selaku koordinator Pelita saat menyampaikan pernyataan sikap di hadapan awak media, Selasa (20/8/2019), mengatakan bahwa Pelita sangat menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan antar sesama warga masyarakat Indonesia.
“Menyikapi tindakan represif dan penghinaan bernada rasialis kepada mahasiswa Papua, maka Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) menyayangkan tindakan represif dan ungkapan rasial kepada mahasiswa Papua,” katanya.
Menurutnya, rasialisme adalah tindakan yang melanggar norma universal hak asasi manusia mengenai prinsip kesederajatan martabat sesuai yang tertulis baik dalam Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Konvensi tersebut disepakati oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
“Segala hal yang berhubungan dengan perendahan martabat seseorang atau sekelompok orang atas dasar perbedaan rasial, etnis, agama, dan bahasa tidak dibenarkan,” katanya.
Selain itu, Pelita mengimbau masyarakat untuk bersikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan ras, etnis, agama, bahasa, dan adat istiadat. Bangsa lndonesia adalah bangsa yang majemuk sejak awal oleh karenanya sikap yang’ luwes dan toleran dalam hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat adalah sebuah keniscayaan yang selalu harus diusahakan.
Setyawan juga mengajak masyarakat untuk mendorong semangat dan sikap persaudaraan dalam keberagaman pada laku hidup sehari-hari dengan merangkul orang yang datang dari daerah lain untuk bersekolah dan atau bekerja sebagai bagian dari komunitas masyarakat sendiri.
“Kami mengimbau warga masyarakat untuk tidak terprovokasi atas kejadian-kejadian tersebut dan tetap menjaga persatuan dan kesatuan antar sesama,” pungkasnya.
Sebelumnya, tepat sehari setelah peringatan Hari Kemerdekaan ke-74 Republik Indonesia pada hari Minggu 18 Agustus 2019, muncul berita di beberapa media mengenai tindakan represif dan penghinaan bernada rasialis kepada mahasiswa Papua di Surabaya.
Dalam berita disebutkan, bahwa pada Jumat 16 Agustus sejumlah mahasiswa Papua di Asrama Papua Jalan Kalasan No. 10 Surabaya mendapatkan makian bernada rasialis setelah sebelumnya mereka dituduh merusak tiang bendera.
Aparat kepolisian meminta mereka menyerahkan diri tetapi para Mahasiswa Papua menolak karena merasa tidak bersalah. Hingga pada Sabtu sore hari tanggal 17 Agustus, aparat kepolisian memaksa masuk ke asrama dan membawa penghuni asrama ke Mapolres Surabaya.
Setelah diperiksa terkait dugaan perusakan bendera yang dilaporkan pada 16 Agustus, akhirnya pada Sabtu tengah malam 17 Agustus mereka dilepaskan karena polisi tidak menemukan bukti yang menyatakan mahasiswa merusak bendera.(suarabaru.id)