TEMANGGUNG – Sendratari Mapageh Sang Watukulumpang, yang merupakan kolaborasi penari dari Temanggung dan Wonosobo, akan tampil dalam puncak acara Festifal Sindoro Sumbing (FSS) yang digelar gabungan Dinas Pariwista dan Kebudayaan dua daerah tersebut.
Pergelaran paduan seni tari, teater, musik dan multimedia itu akan berlangsung di Lapangan Kledung Temanggung. Dijadwalkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo SH, Bupati Termanggung Muhammad Al-Khadziq dan Bupati Wonosobo Eko Purnomo SE MM akan hadir.
Selain melibatkan penari dari dua daerah pegunungan, penguasa dua Kabupaten yakni Bupati Temanggung Muhammad Al-Khadziq dan Bupati Wonosobo Eko Purnomo, akan ikut bermain dalam sendratari dan drama kolosal yang baru kali pertama digelar ini.
Kegiatan yang disokong platform Indosiana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, akan menjadi tontonan menarik dan bakal mampun menyedot kunjungan wisata di daerah Temanggung dan Wonosobo.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Temanggung Woro Andijani, Sabtu (20/7), mengatakan Mapageh sang Watukulumpang adalah istilah padanan atau bagian dari upacara Manusuk Sima (Jawa kuna: Mapageh Ika nang Susukan Sima).
“Ini merupakan sebuah upacara penetapan tanah Sima atau Perdikan yang umum dilangsungkan di Jawa pada masa Hindu-Buddha (Era Kerajaan Medang/Mataram Kuno). Tradisi masa lalu itu coba digali lagi dan pentaskan melalui sendratari,” katanya.
Dalam teks prasasti, imbuh Woro, batu Yoni atau Watu Kulumpang adalah sebuah media untuk memanggil arwah para leluhur dan dewa-dewa untuk memberi restu serta pengikat atas suatu janji di dalam upacara tersebut.
“Prosesi upacara penetapan Sima atau wilayah bebas pungutan pajak ini lazim diselenggarakan dalam penetapan wilayah menjadi bangunan suci, seperti tercatat dalam Prasasti Rukam,” tegasnya.
Ditemukan di Kledung
Sementara itu, Direktur FSS, Imam Abdul Rofiq mengungkapkan prasasti berangka tahun 829 S ini ditemukan di Desa Petarangan Kledung Temanggung, tidak jauh dari Lapangan Desa Kledung, bakal tempat pelaksanaan Mapageh Sang Watukulumpang.
“Tanah di kawasan ini, Temanggung dan Wonosobo, hingga Merapi dan Merbabu bukti kekuasaan Dyah Balitung, raja yang memerdekakan kembali wilayah perdesaan yang dicabut status Sima-nya sejak masa Rakai Pikatan hingga Rakai Watuhumalang, mertua Balitung,” jelasnya.
Hal itu, menurut Rofik, diperkuat dengan temuan candi di wilayah itu. Ilustrasi Manusuk Sima pada Prasasti Rukam menjelaskan bahwa upacara diselenggarakan karena wilayah desa yang disebut Wanua Jro rusak akibat bencana guntur.
“Raja Dyah Balitung pada masa itu memerintahkan agar tanah desa tersebut ditetapkan sebagai tanah perdhikan dan didirikan bangunan suci untuk nenek sang raja, Rakryan Sanjiwana,” tambahnya.
Penetapan status baru ini menyebabkan adanyalarangan untuk memungut pajak di wilayah
tersebut, sehingga masyarakat diwajibkan untuk merawat bangunan suci sebagai ganti kewajiban menyerahkan pajak.
Penulis Sinopsis Sendratari Mapageh Sang Watukulumpan Erwin Abdillah menyebut pada catatan Prasasti, upacara Manusuk Sima dimulai pada tengah malam hingga pagi hari, dihadiri Raja, Para Patih (I Hino, I Halu, I Sirikan) dan pejabat desa.
“Prosesinya dipimpin Makudur atau pemuka agama, diawali dengan menyebutkan bermacam-macam sesaji kepada para dewa. Sesaji berupa kepala kerbau, ayam, telur, air, perangkat alat makan-minum, dandang, pemotong kuku atau alat pertanian,” katanya.
Perlengkapan penting lainnya, kata Erwin, adalah Watu Teas (lingga) dan Watu Kulumpang (yoni), yang umum disebut dengan awalan“Sang Hyang”.Prosesi upacara berpusat pada kedua batu tersebut, dengan posisi duduk melingkar yang posisinya ditentukan sesuai jabatan.
“Sebelum prosesi berlangsung, ada prosesi penyerahan tanda kasih atau Pisungsung yang umumnya berupa kain pola Kaliyaga, emas, maupun perak kepada pejabat yang hadir pada upacara,” sebutnya.
Setiap orang mendapatkan Pisungsung sesuai dengan jatah yang telah diperhitungkan sebelumnya, seperti pisungsung untuk patih, nayaka, hingga kepala desa, maupun pendeta akan berbeda.
“Prosesi dilanjutkan dengan makan bersama hidangan yang telah disiapkan, seperti nasi Matiman Paripurna (tumpeng dengan lauk lengkap), aneka masakan olahan ikan dan daging, kuluban, dan minuman seperti cinca dan tuak,” tambahnya.
Rasa Syukur
Kepala Seksi Seni dan Budaya Disparbaud Wonosobo Siti Fatonah Werdiyati memaparkan pergelaran kolaborasi ini adalah simbol rasa syukur atas anugerah yang masih tercurah di kawasan Gunung Sindoro–Gunung Sumbing dan harapan masyarakat untuk kembali hidup selaras dengan alam.
“Dari sendratari ini diharapkan ada gambaran yang terang antara hubungan alam dan manusia yang yang sangat erat dan tak dapat terpisahkan. Alam beserta kekayaannya, manusia beserta akal dan budinya menjadi dua sahabat yang saling membutuhkan,” katanya.
Menurutnya, gunung, hutan, sawah, sungai, kebun, ladang dan peninggalan-peninggalan nenek moyang merupakan wujud dari kekayaan alam yang cukup banyak menghidupi kehidupan manusia seharihari.
“Manusia wajib menjaga, merawat serta melestarikan demi terjaganya sebuah ekosistem.
Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing adalah dua gunung yang berdiri kokoh sebagai simbol penjaga keseimbangan alam dan kehidupan masyarakat di sekitarnya,” sebut dia.
Mapageh Sang Watukulumpang, katanya, merupakan sebuah ikatan janji bersama antara manusia dengan alam seisinya untuk saling bersahabat dan merawat hingga Sang Pemilik kembali mengambilnya.
“Akhir dari sendratari juga menggambarkan kondisi seperti peristiwa yang diperkirakan terjadi usai era Dyah Balitung berkuasa atau di tahun 1000 Masehi. Di mana alam melakukan sebuah suksesi yang tak mungkin terbendung tangan manusia,” imbuhnya.
SuaraBaru.id/Muharno Zarka