MEDAN – Kualanamu International Airport (KIA) Medan. Bandara baru pengganti Polonia, dibangun megah dan besar serta menjadi bandara internasional terbesar kedua di Indonesia, setelah Bandara Sokearno Hatta (Soeta) di Tangerang Banten. Hari mulai gelap ketika pesawat yang kami tumpangi dari Bandara Adi Sucipto Yogyakarta, landing di KIA Medan Sumatera Utara (Sumut).
Fasilitas jalan tol dan jalur Kereta Api (KA) dibangun untuk mempermudah akses ke KIA. Ini menjadikan Medan sebagai kota pertama di Indonesia yang mengintegrasikan bandara dengan KA, dan ini makin mendorong Medan sebagai kota multi etnis berkembang menjadi metropolis, dengan pemilikan aneka potensi penting di sektor perdagangan, industri, bisnis dan pariwisata di Indonesia. Medan menjadi kota penting di Tanah Air yang berposisi di luar Pulau Jawa. Perwakilan negara-negara sahabat, memiliki Kantor Konsulat Jenderal (Konjen) di Medan, seperti Amerika Serikat, India, Jepang, Malaysia dan Jerman.
Pemandu wisata Nabila Tour Cabang Medan, Bambang Eko, saat mendampingi rombongan studi banding Pimpinan DPRD bersama awak media Kabupaten Wonogiri, menyatakan, asal muasal sejarah Medan yang memiliki hari jadi Tanggal 1 Juli 1590, ini ada beberapa versi. Salah satunya, disebutkan berawal dari sebuah kampung yang didirikan oleh Guru Patimpus di pertemuan dua sungai, yakni Sungai Deli dan Sungai Babura. Guru Patimus, merupakan tabib sakti yang pandai menyembuhkan orang sakit.
Dokumen sejarah Riwayat Hamparan Perak yang ditulis dalam huruf Karo pada rangkaian bilah bambu, Guru Patimpus Sembiring Pelawi, anak Tuan Si Raja Hita, pemimpin Karo di Kampung Pekan (Pakan), ini disebutkan sebagai tokoh masyarakat Karo, dan menjadi orang yang pertama kali membuka “desa” yang diberi nama Medan. Pada tahun 1632, Medan dijadikan pusat pemerintahan Kesultanan Deli, Kerajaan Melayu. Bangsa Eropa mulai menemukan Medan sejak kedatangan John Anderson dari Inggris Tahun 1823.
Kota multietnis Medan, berpenduduk orang-orang dengan latar belakang budaya dan agama yang beraneka macam. Selain penduduk pribumi Suku Melayu dan Karo, juga dihuni suku Jawa yang berkembang dan mendominasi demografi di Medan, dengan jumlah sekitar 33 persen dari total penduduk sebanyak 2,7 juta jiwa. Kecuali itu, juga ada Suku Batak, Tionghoa, Mandailing, dan India. Mayoritas penduduk Medan bekerja di sektor perdagangan. Rumah Makan (RM) Cina di perkampungan orang India (Keling), menyediakan menu kuliner moslem food berlabel halal.
Buku The History of Medan karya Tengku Luckman Sinar (1991), menuliskan bahwa menurut Hikayat Aceh, Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di Medan. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli. Sejak akhir abad ke-16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke-17 menjadi Deli. Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini, juga sering terlibat pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka dan juga dengan kerajaan dari Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini, tercatat dalam Kitab Pararaton yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu. Dalam Kitab Negara Kertagama, karya Mpu Prapanca, dituliskan selain Pane (Panai), Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru). ”Karena sering dijadikan medan perang, maka tempat tersebut kemudian dinamakan Medan,” tutur Bambang Eko.
Istana Maimun, bergaya arsitektur campuran ala Timur Tengah, Melayu, Spanyol, India dan Italia, merupakan bangunan monumental bersejarah Kesultanan Deli di Medan, dan merupakan istana termegah di Indonesia. Istana ini dibangun Sultan Maimun Al Rasyid Perkasa Alamsyah yang merupakan keturunan Raja ke-9 Kesultanan Deli, dan dikenal sebagai Sultan yang kaya raya karena banyak memiliki perkebunan tembakau di Deli. Istana ini, dibangun dengan biaya 1.000 gulden selama 3 tahun, dikerjakan mulai Tanggal 26 Agustus 1888 yang kemudian diresmikan Tanggal 18 Mei 1891.(suarabaru.id/bp)