SEMARANG– Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Prof Dr Ahmad Rofiq MA mengatakan, tantangan, ujian besar dan berat bakal dipikul pengurus PWNU Jateng masa khitmad 2018-2023, yang dilantik, Selasa (2/10/2018), di MAJT. Pekerjaan Rumah (PR) yang berat itu berupa penegakan, menjaga nilai dan tradisi aswaja, mengelola organisasi secara modern dan sustainable, di tengah tahun politik 2019.
“Tahun politik 2019 merupakan godaan besar dan berat yang harus dilalui para pengurus PWNU Jateng yang dinahkodai KH Ubaidullah Shadaqah sebagai Rais Syuriyah dan H Muzammil sebagai Ketua Tanfidziyah,” tegasnya menjawab pers, Senin (8/10/2018).
Prof Ahmad Rofiq yang juga Wakil Ketum MUI Jateng, meminta PWNU Jateng konsisten pada gerakan ulama yang mengusung paradigma memelihara nilai atau tatanan lama yang baik dan mengambil nilai atau tatanan baru yang lebih baik.
Sosok, tampilan, dan “permainan” NU, katanya, sering sulit dipahami bagi yang berbeda prinsip. Bahkan warga NU pun, banyak yang tidak bisa mengikuti alur dan jalan “politik” para pemimpinnya.
Misalnya munculnya istilah “NU garis lurus” harus lebih dipahami sebagai bentuk koreksi jamaah terhadap sepak terjang para pengurus yang dianggap tidak sejalan dengan khithah NU. Mengingat, NU merupakan jamiiyah yang tidak berafiliasi secara organisasi dengan partai politik apapun.
“Tantangan paling besar, terkait posisi PKB bagi warganya merasa sebagai “anak kandung” atau setidaknya merasa dilahirkan dari “rahim” NU. Karenanya, langkah dan gerak “politik” pengurusnya sering mengikuti alur dan permainan parpol “anak kandung” tersebut. Apalagi di tahun 2019.Di sisi lain harus diakui pula banyak warga NU yang pilihan politiknya bertebaran di berbagai partai politik,” kata mantan Sekretaris PWNU Jateng ini.
Guru besar ilmu syariah ini menyarankan, dalam permainan politik, konsep yang lebih mashlahat bagi NU, perlu gerakan mendistribusikan kader-kader politiknya ke banyak parpol dengan desain besar, NU sebagai “payung besarnya” warga NU sekaligus optimalisasi potensi politik warga NU.
Bila gagasan ini berjalan, lanjutnya, akan berkontribusi besar terhadap NKRI, melalui implementasi ajaran Islam aswaja. Yakni Islam wasathiyah (moderat), toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), berkeadilan (ta’adul), berdasarkan persaudaraan (ukhuwwah) Islamiyah, wathaniyah, dan insaniyah/basyariyah.
Prof Rofiq juga mencermati tampilan para pengurus saat dilantik mengenakan pakaian khas santri dan kiai berupa sarung berjaket/jas. Hal ini mengandung pesan, mengembalikan identifikasi NU dengan komunitas pesantren dan menjadikan pesantren sebagai “rumah besar” NU. Mengembalikan tradisi besar mengolaborasikan Islam rahmatan lil ‘alamin dan kearifan local yang diletakkan fondasinya oleh para Walisongo.
Prof Ahmad Rofiq meminta pengurus PWNU Jateng meneguhkan tema yang diusung saat Konferwil, “Meneguhkan Kemandirian NU menyongsong se-Abad NU”. Berarti tugas dan PR besar pengurus baru harus mampu memformulasikan hasil-hasil dan rekomendasi Konferwil dalam jabaran program riil.
Menurut pendapatnya, badan otonom NU akan lebih kokoh dan kompak jika periodisasi masa khidmahnya disesuaikan. Analoginya, jika PWNU adalah “Perguruan Tinggi”, maka badan otonomnya, ibarat fakultas dan pascasarjananya, yang mengeksekusi mewujudkan visi, misi, tujuan, dan target selama masa khidmah lima tahun.
Untuk mewujudkan itu, KH Ubaidullah Shadaqah dan Muzammil agar merealisasikan tema besar Konferwil. “Bangkitlah sebagaimana NU di awal berdirinya dengan nilai dasar atau mabadi’ khaira ummah,” pesannya.(suarabaru.id/sl)