Oleh Tri Agus Utomo
PRESIDEN Jokowi telah meminta aparatnya mempelajari kondisi lapangan untuk mempersiapkan tatanan normal yang baru di tengah pandemi covid-19. New normal adalah langkah percepatan penanganan covid -19 dalam berbagai bidang seperti kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) telah resmi memutuskan Pilkada Serentak akan dilaksanakan 9 Desember 2020 mendatang. Pemilihan Kepala daerah 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi Sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Berbagai pro-kontra pun bermunculan. Baik itu dari pengamat politik maupun aktivis penggiat demokrasi di berbagai kalangan. Pada 27 Mei 2020 terjadi kesepakatan yang dilakukan pemerintah, penyelenggara dan DPR bahwa tahapan Pilkada akan dimulai pada 15 Juni 2020. Tentu memutus mata rantai penyebaran virus dengan cara membatasi interaksi akan sangat sulit terwujud.
Ada sejumlah tahapan Pilkada yang sangat sulit yakni menghindari dari saling interaksi. Terutama antara penyelenggara dengan masyarakat ataupun penyelenggara dengan institusi terkait lainnya.
Seperti pendataan daftar pemilih, verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, klarifikasi dokumen bakal calon ke institusi lain seperti kebasahan ijazah, maupun peradilan tentang sengketa pengesahan calon.
Belum lagi dengan tahapan kampanye, distribusi logistik, distribusi undangan memilih, berkumpulnya pemilih dalam satu TPS, penghitungan dan rekapitulasi suara hingga sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi.
Bisa saja memanfaatkan sarana teknologi untuk memudahkan, namun tidak semua daerah memiliki aksesibilitas jaringan internet dan listrik yang memadai. Kemudian, para petugas tidak banyak dibekali dengan kemampuan teknologi.
Untuk mengawal kualitas proses diperlukan pengawasan secara ketat. Pada pengalaman pilkada sebelumnya membuktikan bahwa masih banyak bagian-bagian yang perlu dibenahi agar pelaku kejahatan serupa di pilkada tidak memiliki kesempatan yang sama.
Pilkada sebelumnya, harus diakui masih terjadi dalam kondisi abnormal. Pada tahap pencalonan masih banyak indikasi terjadi jual beli antara partai politik (parpol) dengan bakal calon (candidate buying). Syarat dukungan awal bagi calon perseorangan kerap dimanipulasi. Suara masyarakat diperoleh dengan cara membayar (vote buying).
Pelaksanaan pilkada dalam kondisi seperti ini tentu membutuhkan tantangan baru. Apakah tahapan Pilkada akan menjadi lebih baik atau akan lebih terpuruk. Baik penyelenggara, pengawas, lembaga peradilan pemilu dan penegak hukum memiliki ruang gerak yang terbatas karena kondisi belum bersahabat.
Pilkada tahun ini sangatlah berbeda dengan pilkada seperti tahun sebelumnya. Di tahun ini kita dihadapkan bukan lagi berfikir tentang bagaimana cara memilih pemimpin untuk kemajuan daerah kita masing–masing, melainkan saat ini juga kita memikirkan apa jaminan kesehatan masyarakat Indonesia dalam menghadapi pilkada di tengah pandemi ini.
Kalau merujuk pada (PKPU Nomor 5 Tahun 2020), semua tahapan harus menggunakan protokol kesehatan. Baik itu dalam pemutakhiran data pemilih, coklit dan bahkan sampai pada pencoblosan.
Harapan saya kepada KPU dan Bawaslu di seluruh Indonesia, untuk setiap saat mematuhi itu walaupun di daerahnya masing-masing tergolong masuk pada zona hijau. Hal ini harus dilakukan sebab kita tidak tahu kapan wabah ini akan berakhir. Belum lagi hari ini, kita melihat beberapa wilayah sudah masuk zona hitam. Tentu akan menjadi tanggung jawab besar kepada teman teman penyelenggara di wilayah tersebut, seperti di Solo.
Kita tidak perlu menuntut banyak dari mereka karena mereka memiliki hak untuk hidup sehat. Maka dapat diduga bahwa jika pilkada dapat digelar dalam suasana pandemi ini, maka jangan berharap jika pilkada dapat berproses dengan baik, sehingga sangat wajar jika produk pilkada tidak sesuai yang diharapkan.
Intinya, kita harus belajar dari pemilu Korea Selatan beberapa waktu lalu. Kita melihat kesuksesan Korsel melalsanakan pemilu di tengah pandemi tak lepas dari tiga faktor utama. Yakni, sistem pemilu yang baik, penanganan covid-19 yang sigap, dan kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara.
Tri Agus Utomo, Alumnus SKPP RI (Sekolah Kader Pengawas Pemilu Angkatan II 2019)