Oleh : Hadi Priyanto
EKSPLOITASI sumber daya alam yang berlebihan dan serampangan di Karimunjawa, akan menimbulkan persoalan lingkungan yang serius. Bukan saja pada masa yang akan datang, tetapi sekarang pun telah mulai dirasakan oleh warga setempat. Mereka mulai merasakan kurangnya ketersediaan air bersih dan sehat sekalipun pada musim penghujan.
Beberapa sumur milik penduduk juga diketahui terdapat besaran amonium yang melebihi batas ambang yang diijinkan. Sedangkan penyebaran atau pelamparan amonium telah terjadi hampir setengah wilayah hunian di Karimunjawa.
Air tanah bebas di beberapa daerah kota juga sudah terpengaruh oleh air laut yang memiliki derajat keasaman yang cukup tinggi. Tentu proses penyusupan air laut ini mempercepat proses degradasi kualitas air tanah.
Walaupun ada unsur penyusupan air laut yang disebabkan kondisi geologi, tetapi pencemaran yang disebabkan oleh limbah domestik menjadi penyebab utama, baik dalam bentuk padat maupun cair. Apalagi Karimunjawa termasuk pelintasan kapal niaga, besar kemungkinan mendapatkan limpahan sampah kiriman sangat besar. Termasuk yang dibawa golombang dari berbagai wilayah.
Baca Juga: Rencana Perluasan Bandara Dewandaru, Warga Ingin Relokasi
Belum lagi dampak lingkungan akibat kehadiran tambak udang vaname yang sekarang juga berkembang 10 lokasi di Karimunjawa seluas kurang lebih 5 ha. Tambak yang belum memiliki ijin ini bukan saja merusak ekosistem mangrove, tetapi juga terumbu karang. Sebab akumulasi limbah organik ini bisa meningkatkan populasi alga yang menggangu populasi ikan serta merusak ekosistem pantai.
Pulau Tanpa Cadangan Air
Keterbatasan air bersih ini disebabkan posisi Karimunjawa dan 26 pulau lainnya sebagai pulau kecil yang terpisah dari pulau induk, yaitu pulau Jawa. Dengan demikian pulau ini hanya memiliki daerah tangkapan air yang kecil dan keterbatasan sumber air tawar. Oleh sebab itu Karimunjawa sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
Sebab menurut pakar konservasi air dari Universitas Diponegoro Semarang Prof. Koodoatie, Kepulauan Karimunjawa disebutnya sebagai salah saatu pulau di Indonesia yang tidak mempunyai Cekungan Air Tanah (CAT).
Dalam Peraturan Daerah No 2 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jepara, CAT Karimunjawa juga tidak dicantumkan sebagai kawasan lindung geologi.
Baca Juga: Beginilah Nasib Penumpang KM Ceria yang Tenggelam di Karimunjawa
Padahal CAT mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan dan ketersediaan bahan baku air dalam jangka panjang. Oleh sebab itu kelestarian vegetasi atau komunitas tetumbuhan harus selalu dijaga, baik yang ada didalam hutan pada zona inti dan zona rimba Taman Nasional Karimunjawa, maupun yang tumbuh diatas tanah yang dikuasi oleh penduduk maupun investor.
Sebab komunitas tetumbuhan maupun tutupan lahan yang dibentuk, menjadi media yang efektif untuk memasukan air hujan kedalam tanah dan dilepas kembali dalam bentuk mata air. Karena itu pelestarian alam tidak boleh hanya dilakukan dan menjadi tanggung jawab Taman Nasional Karimunjawa tetapi juga menjadi tanggung jawab para warga, pemilik tanah, investor, wisatawan dan pemerintah disemua tingkatan.
Belum adanya Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Karimunjawa juga bisa menjadi salah satu penyebab pembangunan sarana dan prasarana wisata oleh investor, dalam banyak kasus bisa mengganggu ekosistem Karimunjawa.
Banjir yang terjadi pada 8 April 2017 adalah bukti ada pemanfaatan lahan yang tidak terkendali untuk kepentingan pariwisata hingga merubah komunitas tetumbuhan dengan bangunan atau sarana wisata lain. Akibat perubahan bentang alam ini, air hujan tidak bisa ditangkap masuk kembali kedalam tanah, tetapi langsung terbuang kelaut.
Air hujan yang langsung terbuang kelaut tentu juga membawa tanah dan limbah domestik, penyebab utama terjadinya pendangkalan dan degradasi lingkungan laut.
Oleh sebab itu menjaga kelestarian tetumbuhan di Karimunjawa adalah sebuah keniscayaan. Tujuannya agar dapat mengatur siklus air tawar dan mengatur neraca air secara alami. Tajuk pohon yang ada disemua wilayah Karimunjawa harus lestari agar dapat menjaga terjadinya kelongsoran.
Sedangkan akar pohon secara alami akan menahan kekuatan aliran air sekaligus membuat lubang – lubang di tanah untuk diisi oleh air sehingga air tersimpan di dalam tanah. Air ini kemudian disebut air imbuhan tanah.
Berdasarkan perkiraan, dengan melihat luasan dan kondisi vegatatif yang ada di hutan hujan tropis dan tanah hak milik di Karimunjawa, nilai imbuhan air tanah di pulau ini hanya sebesar 462.932 m3/tahun. Ini berarti pemanfaatan air tanah tidak boleh melampaui 462.932 m 3 /tahun.
Ironisnya, dalam kondisi cadangan air seperti itu di Karimunjawa terdapat empat hotel berbintang dengan fasilitas kolam renang yang mengambil air bawah tanah (ABT) dengan pengeboran. Hal ini sangat mengancam distribusi air. Sebab Karimunjawa tidak mempunyai Cekungan Air Tanah dan tidak adanya lapisan yang kedap air atau semi kedap air.
Aliran air bawah tanah di Karimunjawa hanya lapisan lempung bercampur pasir. Ketika air dikeluarkan dengan fasilitas sumur bor, dipastikan air dari sumur atau mata air sekitarnya akan ikut tersedot.
Beban Berat
Keindahan Karimunjawa memang mampu menarik wisatawan, baik dalam skala domestik maupun internasional. Dengan cepat Karimunjawa menjadi magnet baru tujuan wisata. Dari data yang ada di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jepara, tingkat kunjungan wisata ke Karimunjawa mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Kalau pada tahun 2018 tingkat kunjungan wisata ke kawasan ini baru 137.835 orang, pada tahun 2019 meningkat menjadi 147.524 orang. Dari jumlah tersebut wisatawan manca negara mencapai 8.156 orang pada tahun 2018 dan meningkat pada tahun 2019 menjadi 9.871 orang.
Jumlah kunjungan wisatawan itu berpengaruh terhadap perkembangan penginapan. Saat ini di Karimunjawa terdapat 102 penginapan yang terdiri dari 3 buah hotel bintang tiga, 13 hotel non bintang, 1 buah guest house dan 87 home stay. Sedangkan jumlah kamar mencapai 700 buah.
Sementara jumlah penduduk desa Karimunjawa sendiri pada awal November 2019 lalu yang tercatat di Kantor Camat Karimunjawa telah mencapai 4.922 jiwa yang terdiri dari 1570 KK. Dari jumlah ini yang bermukim di daratan pulau Karimunjawa sebanyak 4.461 jiwa atau 1.453 KK.
Mereka berada di dukuh Karimunjawa dan Legon Cikmas. Sedangkan yang tinggal di pulau Genting sebanyak 117 KK yang terdiri dari 325 jiwa. Sementara penduduk desa Kemujan saat ini telah mencapai 3.018 jiwa, desa Parang 1.139 jiwa serta desa Nyamuk 628 jiwa. Total penduduk Kecamatan Karimunjawa 9.707 jiwa. Ini belum termasuk para pekerja pendatang yang berada di wilayah tersebut.
Jumlah ini dipastikan terus meningkat, baik penduduk yang menetap, pekerja maupun wisatawan. Pertambahan penduduk ini akan meningkatkan kebutuhan air tawar, bersih dan sehat. Jika pertambahan penduduk berdasarkan deret ukur, maka ketersediaan air tawar dapat dipastikan berdasarkan deret hitung mundur.
Ketersediaan air bersih semakin berkurang, apalagi jika musim kemarau tiba. Apalagi sumber air yang dimanfaatkan saat ini baru sumber mata air Legon Lele dengan debir 10 liter / detik.
Air dari sumber mata ini dimanfaatkan oleh 674 sambungan rumah tangga, usaha hotel, usaha lain dan sosial. Sedangkan penduduk desa Karimunjawa 1.453 KK. Artinya sekitar 779 KK di desa Karimunjawa belum dilayani oleh air bersih yang dikelola PDAM.
Berdasarkan data yang ada di PDAM, air yang digunakan rata – rata setiap bulan mencapai 6.553 m3. Sedangkan pemakaian rata-rata air per bulan untuk rumah tangga adalah 17 m3, usaha hotel 80 m3, usaha lain 10 m3 dan sosial 15 m3.
Persoalan terbaru kini juga muncul dengan terbitnya UU No 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Dalam pasal 33 ayat 1 disebutkan, setiap orang dilarang melakukan pendayagunaan sumber daya air dikawasan suaka dan kawasan pelestarian alam. Sedangkan ayat 33 menyebutkan, larangan pendayagunaan sumber daya air sebagaimana ayat (1) dikecualikan bagi orang perseorangan untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari yang tidak dimanfaatkan sebagai bentuk usaha.
Sementara pengelolaan air minum di Karimunjawa yang bersumber dari mata air Legon Lele yang berada didalam Taman Nasional sejak tahun 2018 telah diserahkan kepada PDAM Jepara.
Disamping itu 102 buah hotel dan home stay yang ada di Karimunjawa juga mengandalkan air yang bersumber dari mata air Legon Lele. Oleh sebab itu jika peraturan pemerintah yang nanti akan diterbitkan tidak memberikan jalan tengah, tentu akan menjadi persoalan dari aspek ketaatan hukum.
Tidak mudah memang menjaga dan mengelola ekosistem kawasan. Sebab harus memadukan upaya konservasi sumber daya alam dengan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Ada banyak peraturan yang harus diperhatikan dan ada banyak pemangku kepentingan yang terlibat didalamnya. Tujuannya agar masyarakat dapat memanfaatkan kelestarian sumberdaya alam alam, tanpa merampas hak generasi yang akan datang.(*)