blank
Ilustrasi Wifi.

JEPARA (SUARABARU.ID)- Perkembangan dunia digital saat ini memang sudah tidak dapat dibendung. Keberadaan smartphone sepertinya menjadi hal wajib dalam memudahkan segala urusan. Baik itu urusan pendidikan, transaksi jual beli, pembayaran, maupun jasa.

Namun, perlu diingat bahwa ada batasan-batasan agama yang harus dipatuhi jika ingin penggunaan smartphone menjadi berkah dan tidak menimbulkan kemaksiatan atau dosa.

Baru-baru ini muncul pertanyaan bagaimana hukumnya jual beli secara online namun dengan menggunakan jaringan wifi tetangga tanpa izin. Apakah hasil jual beli tersebut akan menjadi haram?

Dikutip dari Nuonline, Untuk menggunakan wifi biasanya dilengkapi dengan keamanan sandi sehingga penggunanya hanya pemilik atau orang-orang tertentu yang diizinkan.

Dengan demikian, menggunakan wifi tanpa izin termasuk dalam keumuman ayat tentang larangan memakan harta orang lain dengan batil. Allah Swt. berfirman:   وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ  Baca Juga Cukupkah Bersedekah untuk Mengganti Barang yang Dighasab?   Artinya, “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil,” (Al-Baqarah [2]:188)

Wifi dalam konteks fiqih disebut dengan manfaat. Manfaat wifi adalah manfaat yang dikuasai atau dimiliki oleh perorangan, bukan umum, sehingga dalam pandangan fiqih menguasai manfaat yang dimiliki orang lain secara zalim, menggunakan tanpa izin disebut dengan ghasab yang hukumnya haram.

Selanjutnya, berkaitan dengan pertanyaan yang sampaikan, apakah hasil jualan online menjadi haram karena menggunakan HP yang diupdate melalui wifi tetangga tanpa izin?

Mengingat bahwa HP berikut sistem di dalamnya hanya sebuah sarana untuk melangsungkan transaksi, maka selama jual beli yang dilakukan sesuai syariat, yaitu memenuhi rukun dan syaratnya, tidak menipu, tidak merugikan orang lain, serta komoditi yang ditransaksikan legal menurut syara’ dan hukum negara, maka keuntungan yang didapatkannya adalah halal.

Kasus ini dapat di-ilhaq-kan dengan permasalahan seseorang yang meng-ghasab sebuah panah kemudian panahnya digunakan untuk berburu, maka hak milik hasil buruannya itu adalah pelaku ghasab tersebut. Hanya saja, pelaku ini wajib memberikan biaya penggunaan panah tersebut kepada pemiliknya.

Berikut selengkapnya dijelaskan oleh Imam al-Baghawi dalam kitab at-Tahdzib fi Fiqhis Syafi’i, (Beirut, Darul Kutub Ilmiyah, 1997: VIII/27).   ولو غصب رجل سهمًا، فاصطاد به: كان الصيد للغاصب، وكذلك: لو غصب شبكة، فنصبها، فتعلق بها صيد-: كان للغاصب، وعليه أجر مثل السهم، والشبكة للمالك

Artinya, “Jika seseorang meng-ghasab sebuah panah, lalu berburu dengannya, maka hasil buruannya menjadi milik si peng-ghasab. Begitu pula jika seseorang meng-ghasab jaring, lalu memasangnya, dan mendapatkan tangkapan, maka hasil tangkapannya adalah milik si peng-ghasab. Namun, dia wajib membayar sewa atau biaya (ujrah mitsil) penggunaan panah dan jaring tersebut kepada pemiliknya.”

ua