blank
Herdian (34) seorang tunanetra menghadap bingkai-bingkai hasil foto polaroid yang tertempel di dinding ruang pamer di Tan Artspace, Kota Semarang, Senin 14 Oktober 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

“Sejumlah hasil karya fotografi dipamerkan. Akan tetapi, ada perspektif berbeda. Melalui kamera polaroid, bingkai-bingkai foto itu dipotret oleh para penyandang tunanetra. Siapa sangka, ada narasi yang diungkapkan dibalik hasil karya-karya foto polaroid tunanetra tersebut…”

SEMARANG (SUARABARU.ID) – SESAAT usai sore menggantikan dirinya dengan malam, Herdian (34) menghadap bingkai-bingkai hasil foto polaroid. Gambar-gambar itu tertempel di dinding ruang pamer di Tan Artspace, Kota Semarang, Senin 14 Oktober 2024.

Herdian mengenakan kacamata. Setelan kaos kuning berkerah, warna cerah kaos polo dipilih melengkapi bawahan celana krem sepanjang lutut, serta tas selempang, dan sandal untuk suasana santai.

Seorang teman penyandang tunanetra tidak total terus mendampinginya berjalan. Herdian membaca tiap-tiap narasi braille di sisi foto yang dipamerkan. Di depannya, Silvani Andalita creator kegiatan pameran foto tersebut.

Mereka saling berkomunikasi hingga bertukar pikiran tentang narasi dan perspektif dibalik foto-foto apa yang dipajang.

Herdian tampak seperti orang pada umumnya saat menikmati karya-karya yang dipamerkan. Sosok yang pernah bekerja di front office bank swasta itu ternyata menjadi penyandang tuna netra sejak 2018.

Secara verbal mendengarkan penjelasan Silvani, Herdian dengan seksama memahami hasil karya-karya foto para penyandang tuna netra dalam kegiatan itu. Pun dengan hasil foto polaroid yang diabadikannya.

blank
Bingkai hasil karya foto seorang fotografer yang mengabadikan momen para penyandang tunanetra di dinding ruang pamer di Tan Artspace, Kota Semarang, Senin 14 Oktober 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Perspektif

Herdian Spektro Firetra nama lengkapnya, punya perspektif berbeda dalam karya fotonya dalam pameran bertema ‘Different Shoot from Another Perspective’. Terlebih, Herdian menjadi penyandang tuna netra bukan sejak lahir.

Sebuah kecelakaan  membuat adanya kerusakan saraf, hingga menjadi tuna netra. Perlahan terasa samar-samar dan menuju gelap total.

“Saya jadi tuna netra 2018, saat umur 28. Total black out buta total,” kata dia.

Herdian sebelumnya merupakan lulusan Sosiologi Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada 2013. Sejak kuliah, dia sudah terbiasa bekerja di banyak tempat. Mulai dari sales, teller Bakti Bank BCA, hingga Customer Service.

Dalam pameran itu, dia membuat karya foto polaroid swafoto. Alasan memilih swafoto karena sebelumnya saat masih bisa melihat suka dengan memotret diri sendiri melalui kamera gawainya.

Dia mengaku punya pengalaman berbeda dengan dunia fotografi pada kondisinya saat ini menjadi penyandang disabilitas.

“Ada hal ini menyenangkan, pengalaman baru. (Untuk) berfoto cukup suka, dahulu bisa lihat foto arahnya di mana dan kemana. Kalau sekarang kan foto diarahkan, misalnya diminta geser sedikit tengok sedikit (saat memotret objek), Kata dia.

Dia menjelaskan, ada perspektifnya yang mungkin berbeda atas hasil karya yang dihasilkan para tuna netra.

“Kalau saya buta saat dewasa, ada yang buta dari lahir. Istilahnya perbendaharaannya kalau yang dewasa ibarat tahu rumput (warnanya) hijau awan putih langit biru. Kalau mereka kan batu kan hitam, coklat itu (masih belum tahu) bagaimana. Kalau saya sedang baju kuning kan pernah tahu (warna ini)” ujarnya.

blank
Bingkai hasil karya foto tunnaetra di dinding ruang pamer di Tan Artspace, Kota Semarang, Senin 14 Oktober 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Menolak Terpuruk

Sejak mengalami kebutaan pada 2018, Herdian mengaku cukup terpuruk karena pernah dalam kondisi bisa melihat. Selama sekira dua tahun, dia cukup mengurung diri bertanya akan keadaanya. Berjalannya waktu, dia tidak ingin terus bergantung pada orang lain terus menerus. Dia mulai menerima keadaan.

Herdian mulai berlatih menggunakan gawai yang berbasis suara hingga memutuskan bergabung  dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kota Semarang. Setelah masa ramai Covid 19, pada Juli 2021 Herdian gabung Pertuni.

“Apa yang jadi masa peralihan itu 2018-2020. Masih harus banyak menerima keadaan dahulu. Covid 19 (2020-2021), aku cari cari apa yang masih bisa dilakukan, tidak di rumah terus. Kayaknya ada organisasi tunanetra, saya gabung Pertuni pada akhirya,” kata dia.

Sekian musim berlalu, dia punya banyak harapan menjalani kehidupan sebagai seorang tunanetra. Termasuk, dengan teman-temannya yang tergabung di Pertuni Kota Semarang.

Menurutnya, menjadi tunanetra kehidupannya berubah. Contohnya, kalau mau keluar mau langkah kaki keluar rumah selalu berfikir seberapa jauhnya? ditempuh pakai ojol atau gocar berapa? Ada temannya atau tidak tidak?

“Tidak semudah ambil motor terus jalan. Sebagai tunanetra ada benang merah yang sama kompak solid ke depan dalam organisasi Pertuni,” kata dia.

Ya, Herdian, hanya satu dari sekian orang penyandang tunanetra yang memberikan perspektifnya melalui bingkai foto polaroid.

blank
Pengunjung melihat bingkai hasil karya foto yang diabadikan tunanetra di dinding ruang pamer di Tan Artspace, Kota Semarang, Senin 14 Oktober 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Project

Silvani Andalita, kreator pameran foto tersebut menjelaskan bila proyek itu sudah dimulai sejak 2023.

Project pada 2023.  Dia terus mendalami lebih jauh pengalaman teman-teman tunanetra dan kisah-kisah dibalik foto yang dihasilkan.

“Coba lagi menggali, apa yang difoto dan tadi ngapain aja. Kami cari satu orang yang tepat untuk mendalami sebuah perspektif dari penyandang tunanetra. Saat itu kami coba berkomunikasi dengan salah seorang mahasiswa Unika Soegijapranata yang mengalami kebutaan,” kata dia.

Sosok itu bernama Richard yang merupakan adik kelas Silvani di Fakultas Hukum Unika Soegijapranata saat masih mengenyam pendidikan di sana.

“Richard ketika 16 tahun menjadi tunanetra. Dia buta total saat masih kuliah di Fakultas Hukum Unika Soegijapranata.  Dia bahkan telah lulus dan melanjutkan kembali studi di luar negeri. Dia menjadi sosok yang tepat untuk menceritakan perspektifnya (kebutaan),” kata dia.

blank
Tari sufi mengiringi pembukaan pameran foto karya tunanetra di Tan Artspace, Kota Semarang, Senin 14 Oktober 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Kesetaraan

Lebih lanjut, melalui pameran foto tunanetra itu, dia memiliki harapan apabila pemerintah dan masyarakat juga memiliki rasa peduli sekaligus empati terhadap tunanetra khususnya sebagai kesetaraan.

“harusnya karya ini menjadi titik renung, terutama dalam membangun prasarana infrastruktur yang juga harus diperhatikan. Teman-teman difabel khususnya tunanetra juga memiliki hak yang sama dengan kita semua,” kata dia.

Lanjut Silvani, tunanetra memiliki hak bersosialisasi dan mendapatkan akses di jalan raya yang sama dengan warga lainnya dalam hal akses fasilitas umum. Perlu juga dibangunkan fasilitas braille yang ada di sepanjang trotoar, misalnya jangan juga akses itu dipakai berjualan pedagang asongan.

“Aatau tingkat kemiringan di transportasi umum (halte bus) belum ramah teman-teman difabel. Saya berharap pesan karya ini bisa sampai di lubuk hati kita masing-masing,” kata dia.

Lebih lanjut, dalam hasil pameran foto tunanetra itu terdapat narasi versi braille, agar juga bisa dinikmati oleh para tunanetra.  Pameran itu diikuti sejumlah penyandang tunanetra yang tergabung dalam Pertuni Kota Semarang khususnya.

Adapun pameran tersebut digelar secara terbuka mengundang banyak khalayak, mulai 14-24 Oktober 2024. Beragam kalangan mendatangi kegiatan tersebut, seperti akademisi, jurnalis, fotografer, mahasiswa, masyarakat umum, dan lainnya.

Diaz Azminatul Abidin