blank
Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof FX Sugiyanto di Kota Semarang, Senin 7 Oktober 2024. (Foto: Diaz Abidin)

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof FX Sugiyanto menyebut pemutusan hubungan kerja (PHK) membuat daya beli masyarakat kelas menengah menjadi rendah.

Pun, kata Prof FX Sugiyanto, deflasi lima bulan terakhir ini di Indonesia, termasuk Jawa Tengah diakibatkan daya beli masyarakat yang turun

“Melihat perspektif historis, deflasi semacam ini baru pertama kalinya,” kata Prof FX Sugiyanto, di Semarang, Senin 7 Oktober 2024.

Secara dampak, lanjut dia, deflasi kali ini ada baiknya bagi sebagian masyarakat. Alasannya, karena mereka akan berbelanja dengan mendapatkan harga yang relatif murah dan terjangkau.

Akan tetapi sebaliknya, bila deflasi masih akan berlanjut maka bisa menjadi indikasi kuat masyarakat menahan diri untuk mengeluarkan uang. Selain itu memang daya beli masyarakat yang sedang turun.

“Dari dua kemungkinan ini bisa terjadi. Saya ada datanya,” ujarnya.

Kelas Menengah Paling Terdampak

Prof FX Sugiyanto memerinci, ada tiga kategori kelompok penghasilan. 20 persen kelompok penghasilan tertinggi, 40 persen menengah, dan 40 persen dengan penghasilan terbawah atau termiskin.

“Kelompok tengah ini mulai berkurang daya belinya, dan ini beresiko. Orang kan kemudian lebih baik menahan duitnya, khawatirnya kalau tidak ada perbaikan pendapatan mereka,” kata dia.

Lebih lanjut diungkapkan, tren turunnya daya beli masyarakat kelas menengah diakibatkan banyaknya PHK. Angka pengangguran akhirnya tetap masih tinggi bahkan bertambah.

Celakanya, lanjut Prof FX Sugiyanto, yang paling berbahaya yakni mereka dari kalangan setengah bekerja dan setengah menganggur.

Di lapangan, kelompok ini merupakan pekerja non formal, atau pekerja padat karya di industri sekalipun. Misalnya sepekan bekerja lalu sepekab kemudian menganggur.

“Mereka ini kadang-kadang bekerja sehari tidak lebih dari lima jam,” kata dia.

Secara data, dia menyebutkan, dari 19 juta pekerja di Jawa Tengah 8-9 juta di antaranya merupakan kelompok setengah bekerja setengah menganggur.

Solusi

Prof FX Sugiyanto membandingkan kondisi deflasi berturut-turut saat ini berbeda dengan krisis moneter 1998. Saat itu kondisinya mendadak, di mana hampir semua orang sumber pendapatannya hilang.

“Saat ini berbeda, ada proses yang membuat daya belinya menurun. Justru daya beli itu lebih banyak dinikmati oleh kelompok atas. Indikatornya nanti kalau makro itu di indeks gini maka ketimpangan ekonominya semakin besar,” ujar dia.

Bila kondisi tersebut dibiarkan berlarut-larut, dan tidak segera diatasi maka akan berdampak kerawanan sosial.

Solusi jangka pendek yang bis dilakukan memang pemberian bantuan sosial (bansos) atau bantuan langsung kepada masyarakat.

“(Meskipun) saya paling tidak merekomendasikan bansos ya. Apalagi kalau bansos dikucurkan akan sangat berisiko di momentum politik seperti sekarang.

Lebih lanjut, untuk solusi jangka panjangnya, kata dia, pemerintah untuk bisa membuka lapangan kerja lebih banyak.

“Harapannya pemerintahan yang baru nanti, termasuk pemerintah provinsi itu harus berpikir betul menciptakan lapangan kerja,” katanya.

Diaz Abidin