blank
Pasangan Cabup dan Cawabup Jepara Wiwit-Hajar.

Oleh: Muhammad Mustavit

JEPARA (SUARABARU.ID)- Entah berlebihan atau tidak bila saya katakan, pemimpin yang paling antusias mengenai persatuan saat ini adalah  Prabowo Subianto dan Witiarso Utomo. Tentu, semua pemimpin berbicara dan menunjukkan komitmen mereka menjaga persatuan. Tapi pada kedua tokoh ini terdapat hal yang khas.

Keduanya tidak hanya bicara persatuan dalam kadar normatif, misalnya, bahwa apa yang sudah dibangun para pendahulu jangan dirusak oleh kita kini. Prabowo Subianto dan Witiarso Utomo memberi landasan pembacaan yang historis, aktual, dan berperspektif hari depan untuk menjelaskan betapa pentingnya persatuan nasional tersebut. Meskipun, pada keduanya ada persamaan dan perbedaan.

Prabowo Subianto

Setidaknya ada tiga hal penting berkaitan dengan persatuan nasional dalam pidato Prabowo Subianto di penutupan Kongres Partai Amanat Nasional (24/8) dan Partai Nasdem (26/8) yang baru lalu. Pada kedua pidato itu ditemukan kesamaan inti pesan.

Pertama, Prabowo mengemukakan landasan bagi persatuan adalah berpegang pada nilai dan tujuan yang sama yaitu “mencari yang terbaik untuk rakyat”. Sejauh nilai dan tujuan tersebut sama maka pasti bisa bersatu dan bekerjasama.

Kedua, Prabowo Subianto menyatakan sikapnya “yang salah katakan salah, yang benar katakan benar”. Tapi, pada intinya, jangan menyalah-nyalahkan sehingga Bangsa ini menjadi terpecah-belah. Beliau mengingatkan kita untuk belajar dari sejarah devide et impera yang dilakukan penjajah terhadap Bangsa Indonesia.

Ketiga, Prabowo mengatakan Indonesia saat ini “benar-benar bersiap untuk tinggal landas”, namun beliau mengingatkan adanya kepentingan luar (asing) yang tidak senang dan ingin menggagalkan rencana tersebut.

Prabowo memang tidak menerangkan lebih gamblang siapa kepentingan asing dimaksud dan bagaimana mereka beroperasi. Tapi dengan membuka cakrawala pikir pada konteks sejarah dan persaingan geopolitik, kita menjadi paham bahwa kepentingan asing yang dimaksud tidak jauh dari kekuatan hegemon yang menguasai dunia.

Pembacaan ini sejalan dengan kesimpulannya tentang net outflow of national wealth (mengalirnya kekayaan nasional ke luar). Di sini Prabowo ingin menunjukkan bahwa nasionalisme bukan hanya perkara transendental berupa perasaan senasib dan setujuan, tapi juga imanen dengan perkara spasial sebagai wujud materialnya. Perkara spasial pun tak sesempit penguasaan teritorial melainkan kandungan kekayaan beserta hasil produksi dari manusia di dalamnya.

Selain menyimak berbagai pidato dan tulisan, penulis merasakan sendiri bahwa ikhtiar Prabowo untuk persatuan nasional bukanlah gimick atau basa-basi. Parameter sederhana yang penulis gunakan untuk merasakan itu adalah ajakan dari Prabowo kepada Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang secara jelas ia ketahui diinisiasi oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD).

PRD dikenal sebagai partai kiri di Indonesia dan menjadi musuh Orde Baru. Stigma komunis yang ditempelkan tak juga pudar sekalipun sudah berganti azas menjadi Pancasila di tahun 2010. Tapi dengan kerendahan hati Prabowo mengajak PRIMA untuk berada di barisan pendukungnya dalam Pilpres lalu. Meski sebagian orang melihat dari sudut berbeda bahwa Prabowo membutuhkan PRIMA dan eks PRD hanya untuk melegitimasi dan membersihkan namanya dari tuduhan pelanggaran HAM, tapi penulis masih yakin bahwa kalaupun ada, hal itu bukan motivasi utama.

Witiarso Utomo

Witiarso Utomo di usia 23 tahun, memulai bisnisnya dari bisnis startup, dan pada tahun 2005 mendirikan sebuah perusahaan. Melalui ekonomi Witiarso berhasil menyediakan platform bagi persatuan yaitu membangun perusahaan. Menurutnya tujuan Indonesia merdeka adalah yang terpenting memiliki tujuan yang sama kesejahteraan.

Berangkat dari pembacaan atas situasi geoEcomi Jepara , Witiarso Utomo selalu menyampaikan bahwa “rakyat Jepara lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya”.  Berdasar atas  pemikiran tersebut, Witiarso Utomo mempunyai keinginan berbuat yang terbaik untuk rakyat Jepara.

Keinginan itu di wujudkan nya dengan komunikasi kepada semua kekuatan unsur di Jepara untuk bersama – sama membangun Jepara. Dan Witiarso Utomo membuktikan itu dengan menjadi peserta dalam PILKADA JEPARA 2024 yang di dukung 10 partai, yaitu PPP, Gerindra, PDI- P, GOLKAR,  DEMOKRAT, PAN, PKS, PSI, Partai Buruh dan Partai PRIMA.

Konsistensi sikap Witiarso Utomo terhadap soal persatuan ini berbuah Koalisi gemuk.

Witiarso Utomo dalam deklarasi pasangan Wiwit- Hjar ( MAWAR ) di Posko Pemenangan (29/8/2024) lalu menyampaikan dasar ekonomi politik nya terangkum dalam ” MULUS”,  M yaitu Makmur, Witiarso Utomo mengatakan rakyat Jepara menjadi “verpauveriseerd” (miskin) di segala lapangan, baik “lapangan proletar maupun lapangan yang tidak proletar”.

Pemikiran Wiwit ini, panggilan akrabnya, sejalan dengan pemikiran Bung Karno pada konsep tentang Marhaenisme. Bahwa perjuangan Bangsa Indonesia pada dasarnya adalah perjuangan seluruh lapisan sosial yang sama-sama dirugikan selama kolonialisme. Bagi Bung Karno, tidak ada kelas borjuasi yang berhasil tumbuh di Indonesia. Cikal-bakal atau bibit-bibitnya sudah sudah tergerus dan dimiskinkan oleh kolonialisme.

Kesamaan dan Perbedaan Realitas

Jelas ada kesamaan dan perbedaan esensi realitas ekonomi politik saat itu di Jepara yang Witiarso Utomo kemukakan dalam gagasan persatuan Jepara dengan realitas saat ini. Kesamaannya terletak pada konteks geopolitik, terutama bangkitnya kesadaran masyarakat Jepara yang dirugikan oleh praktik tata ekonomi yang berlaku.

Karakter imperialisme dan neokolonialisme yang terbaru telah beradaptasi sedemikian rupa sehingga penghisapannya menjadi lebih tersamar. Tapi berbekal pengalaman dan pelajaran masa lalu seorang Prabowo Subianto mengetahui hal itu. Pergeseran geopolitik turut membuka kesadaran tentang pilihan lain daripada kapitalisme neoliberal sebagai wujud neokolonialisme.

Bukan kebetulan, mengada-ada, atau semata jargon ketika dalam pidato pasca ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU, Prabowo Subianto mengingatkan agar kita jangan lagi mau dipecah belah oleh neokolonialisme dan imperialisme.

Akan tetapi, realitas sosial yang membedakan situasi kini adalah di dalam negeri kita sendiri. Sebagaimana diterangkan Richard Robinson (1986), kelahiran borjuasi baru di era Orde baru yang disokong oleh negara, sedangkan kebertahanan mereka hingga sekarang disokong oleh berbagai faktor termasuk negara itu sendiri.

Terhadap keberadaan borjuasi ini penting untuk dipilah dan ditempatkan dalam kepentingan nasional. Sebagian borjuasi ini telah nyaman berposisi sebagai penikmat ekstraktivisme sumber dalam alam Indonesia dalam kolaborasinya dengan kapital asing. Ini salah satu sumber “kebocoran” yang sering disebut oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Oleh karena itu penting ditegaskan bahwa tidak boleh ada ego atau kepentingan individu yang lebih tinggi daripada kepentingan nasional. Dengan kata lain, dalam praktik bernegara, tidak boleh negara dikendalikan oleh kepentingan modal, tapi sebaliknya, modal yang harus dikendalikan atau diatur oleh negara untuk kepentingan rakyat.

Dengan penerimaan atas prinsip tersebut maka persatuan nasional dalam pemerintahan Prabowo-Gibran akan selangkah lebih dekat menuju cita-cita masyarakat adil dan makmur.

(Penulis adalah Ketua DPK PRIMA JEPARA)