Oleh Mukhibatun, S.Pd.*

Manusia purba memiliki banyak keterbatasan sehingga mereka membutuhkan pertolongan dari benda-benda yang dianggap mampu memberi keselamatan. Kepercayaan tersebut  masih mewarnai kehidupan sebagian orang Jawa sampai sekarang. Mereka akan merasa bangga jika bisa memiliki dan memelihara benda pusaka atau yang dianggap sakti. Benda-benda tersebut dikeramatkan, dihormati, dan disakralkan melebihi barang-barang yang lain.

Diakui atau tidak, sebagian orang Jawa ada yang mengeramatkan benda-benda pusaka, salah satunya keris. Benda-benda tersebut dijadikan sebagai sarana kesaktian hingga membela diri apabila ada bahaya. Maka tidak mengherankan jika benda tersebut diistimewakan, hingga cara memperlakukannya pun berbeda. Ada yang membungkusnya dengan mori putih sebagai simbol kesucian. Bungkusan mori tersebut diletakkan pada bagian almari yang paling atas agar tidak bisa dijangkau oleh oleh anak-anak.

Secara etimologi, keris berasal dari kata kereran (mencegah) dan aris (pelan-pelan), yang berarti mencegah hawa nafsu dengan perlahan-lahan. Jadi orang yang memiliki keris akan mudah mengendalikan diri, tidak gegabah dalam bertindak, dan penuh pertimbangan.

Keris juga dinamakan dhuwung, dari kata udhu (andil) dan kuwung (kewibawaan). Maksudnya keris akan memiliki andil untuk meningkatkan kewibawaan. Sebutan lainnya, wesi aji. Wesi adalah besi, dan aji berarti mempunyai nilai atau harga, sehingga dapat dikatakan wesi aji adalah besi yang bernilai atau berharga. Karena itu, tidak sembarang orang boleh memegangnya.

Salah satu bentuk penghormatan ini diwujudkan dalam pemberian nama. Keraton Yogyakarta memiliki puluhan keris yang di awal namanya diberi gelar “Kangjeng Kiai”. Penyebutan nama kangjeng maupun kiai adalah wujud penghormatan yang sangat besar dalam budaya Jawa.

Sebagai benda yang sakral, hanya acara tertentu yang boleh memakai keris. Sejak dahulu, keris digunakan sebagai senjata, alat pusaka, objek spiritual, serta aksesoris untuk pakaian adat. Dalam ritual adat pengantin Jawa, pengantin pria selalu dikenakan keris. Hal itu sebagai simbol raja atau satria. Namun ketika acara sungkeman kepada orang tua, keris tersebut harus dilepas.

Sering kali keris juga dianggap memiliki kekuatan magis. Maka sampai saat ini masih banyak masyarakat yang percaya bahwa keris dapat membawa keberuntungan sehingga dijadikan sebagai jimat. Selain itu, keris juga dipercaya dapat menambah keberanian dan rasa percaya diri bagi pemiliknya. Juga dapat menghindarkan serangan wabah penyakit, malapetaka, dan hama tanaman.

Sebagian orang juga percaya bahwa keris bisa menyingkirkan gangguan makhluk halus. Seiring perkembangan zaman keris digunakan sebagai alat perlengkapan berbagai aktivitas antara lain perlengkapan pertunjukan wayang, perlengkapan upacara bersih desa, penangkal hujan, dan lain-lain.

Tidak sembarang orang bisa membuat keris. Hanya empu yang bisa melakukannya. Sebelum membuat, empu terlebih dahulu menjalani laku spiritual tapabrata.

Orang Jawa mempertimbangkan 3 hal sebelum memiliki keris, yaitu; tangguh, sepuh, dan wutuh. Tangguh, adalah mengetahui asal-usul keris. Hal ini perlu dipahami, agar jangan sampai awu keris terlalu tua, padahal calon pemiliknya terlalu muda. Karena menurut tradisi Jawa, untuk memiliki keris harus bersih hatinya. Sedangkan orang yang masih berusia muda biasanya belum begitu bersih lahir batinnya. Sepuh, berkaitan dengan umur keris. Keris buatan empu yang tua akan lebih mahal dibandingkan buatan empu-empu di bawahnya. Keris yang sepuh, dianggap lebih sakti dan mempunyai kekuatan tersendiri. Wutuh, adalah wujud keris yang belum patah bagian-bagiannya.

Biasanya benda-benda pusaka seperti keris, setiap malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon diberi “makan” berupa bunga. Ada juga yang dibakarkan dupa dengan mantra tertentu. Kadang juga di-kum (direndam) setiap bulan Sura (Muharram).

 

*Penulis adalah Guru SD Negeri 5 Bangsri, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.