Oleh : Hadi Priyanto

Sebulan lalu, tepatnya tanggal 10 November 2023, Ratu Kalinyamat mendapatkan anugerah sebagai pahlawan nasional dari pemerintahan RI. Karena itu saya bermaksud melakukan wawancara imajiner dengan beliau. Saya ingin meminta pendapat Kanjeng Ratu

Saya memilih sowan Kanjeng Ratu bukan  di Makam. Mantingan, juga bukan di tempat pertapaan  Sonder atau di Istana Kalinyamatan. Tetapi di istana Kanjeng Ratu di pinggir pantai, dekat pelabuhan Jepara  yang pada abad ke XVII disebut  penulis Belanda sebagai koninghof. Waktunya ditetapkan Minggu Kliwon, 10 November 2023.

Saya sengaja datang lebih awal, agar saya dapat menikmati keindahan malam pantai Jepara dari teras istana ratu. Juga ingin mendapatkan gambaran labuh labet Kanjeng Ratu kepada Jepara,   bangsa dan negerinya.

Beliau semasa  hidupnya dinilai  pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Jauh sebelumnya, 2 putra terbaik kelahiran Jepara RA Kartini dan dr Cipto Mangunkusumo telah mendapatkan anugerah yang sama. Keduanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 108 dan 109 tahun 1964 tanggal 4 Mei 1964.

Ratu yang  oleh bangsa penulis Portugis Diego de Conto  disebut Rainha de Japora ini  berkuasa tahun 1549 – 1579. Ia mendapatkan julukan Rainha Senhora Pedorose e rica, atau ratu yang sangat kaya dan berkuasa. Salah satu jejak perjuangan yang dicatat adalah keberanian menyerang Portugis sebanyak 4 kali, di Malaka, Hitu dan Ambon.

Namun jejak kesejarahannya malah kurang di pahami oleh Jepara. Sebab tidak ada literatur kecuali beberapa tulisan di kitab-kitab babad seperti Babad Tanah Jawi, Babad Demak dan Serat Kandaning Ringgit Purwa. Karena itu beliau lebih dikenal dalam dalam balutan kisah mitos dan legenda yang kemudian semakin menarik saat dipentaskan dalam pagelaran   ketoprak.

Peran kesejarahan baru semakin nampak pada tahun 1988. Saat itu Bupati Hisom Prasetyo ingin mencari hari jadi kota yang dipimpinnya. Setelah dilakukan  penelitian oleh tim dan diskusi oleh para tokoh,  akhirnya ditetapkan penobatan Ratu Kalinyamat 12 Rabiul Awal 956 H sebagai hari jadi Jepara.

Itupun berdasarkan azas dugaan yang setelah dikonversikan dalam kalender Masehi menjadi 10 April 1549. Penetapan tersebut kemudian dituangkan dalam  Peraturan Daerah Tingkat II Jepara Nomor 9 Tahun 1988 tentang Hari Jadi Jepara.

Keinginan untuk menjadikan pahlawan nasional sudah mulai dilakukan pada tahun 1997 – 1998, saat Hendro Martojo menjabat Bupati Jepara. Sayang pengajuan tersebut belum disetujui oleh pemerintah pusat. Sebab hasil penelitian yang diajukan wakttu itu masih banyak  menyajikan kisah legenda dan bahkan mitos. Belum seluruhnya berdasarkan sumber-sumber primer.

Delapan belas tahun kemudian, Yayasan Dharma Bakti Lestari menginisiasi pengajuan kembali Ratu Kalinyamat sebai pahlawan nasional. Ikhtiar ini bermula dari wasiat almarhum Drs Subroto, MM wakil Bupati Jepara kala itu kepada pembina yayasan Ibu Lestari Moerdijat. Sebelumnya  Drs Subroto, MM telah menginisiasi pembangunan Monumen  Tiga Pahlawan Perempuan di Ngabul yang kemudian menjadi icon kota Jepara dan sekaligus sebagai bentuk pengakuan atas perjuangan Sang Ratu

***

Setelah menunggu cukup lama dan menghabiskan berbatang-batang rokok sembari mengingat labuh labet Kanjeng Ratu, akhirnya beliau “miyos” dengan didampingi Semangkin dan Prihatin, dua keponakannya yang cantik.  Seperti biasanya, aroma bunga melati dan bau dupa mendahului kehadirannya.

Setelah menyampaikan salam dan meminta saya duduk, beliau menanyakan kabar “poro kawulo”  Bumi Kalinyamatan. Tentu kesempatan itu saya gunakan untuk menyampaikan suasana batin “poro kawulo” yang gembira menyambut anugerah sebagai pahlawan nasional untuk Kanjeng Ratu. Tak lupa saya juga menyampaikan ucapan terima kasih atas waktu khusus yang diberikan kepada saya.

Sambil menatap saya beliau berucap pelan, “Saat 30 tahun menjadi ratu Jepara saya hanya melakukan yang harus dilakukan seorang pemimpin. Ancasisng labuh labet hanya ditujukan agar masyarakat dalam suasana kehidupan yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Titi Tentrem Kerta Raharja, Tukul Kang Sarwa Tinandur, Murah Kang Sarwa Tinuku”. Pegangan laku itu harus menjadi pedoman batin dan pedoman lahir,” ujar Kanjeng Ratu sembari menghela nafas panjang.

“Karena  hanya dengan kondisi seperti itu terwujud manunggaling kawulo lan gusti, bersatunya pemerintah dengan rakyatnya. Jika pemerintah dan penguasa hidup  senang dan berkecukupan, maka rakyat kebanyakan juga harus menikmati dan merasakan,” ujar Kanjeng Ratu.

“Jadi saat Jepara  bersama kasultanan lain menyerang Portugis di Malaka dan Ambon, juga dalam rangka melindungi kedaulatan Jepara dari ancaman penjajah agar kekayaan alamnya tidak dirampas Portugis. Juga  untuk menjaga Bumi Nuswantara,” ungkapnya. Tidak ada sedikitpun hasrat agar kelak mendapatkan penghargaan. Itu pula yang dilakukan oleh para pahlawan semasa hidupnya termasuk Kartini dan Cipto, tambah Kanjeng Ratu

Namun  demikian Ratu Kalinyamat menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua fihak yang telah mengikhtiarkan dirinya hingga mendapatkan anugerah sebagai pahlawan nasional. “Hanya saja tanggung jawab moral masyarakat Jepara semakin berat,” ujarnya mengingatkan

Ia lantas mengambil contoh seni ukir yang mulai dikembangkan pada masa kepemimpinannya karena ketrampilan yang dimiliki oleh Patih Sungging Badar Duwung kini berada di titik nadirnya. “Seni ukir yang ratusan tahun telah menghidupi warga Jepara kini ditinggalkan oleh para pewarisnya. Ironisnya sampai saat ini belum ada usaha nyata untuk melestarikannya,” ujar Kanjeng Ratu.

“Sekolah tidak lagi menjadi kawah candra dimuka lahirnya generasi muda yang terampil, sebab tidak ada lagi sekolah dengan jurusan Kriya Ukir. Seni ukir tidak lagi menarik sebab tidak bisa memberikan kesejahteraan bagi para perajin, sebab gaji mereka rendah,” tambahnya

Kanjeng Ratu dengan nada sedih juga berbicara tentang peran perempuan di Jepara yang menurut beliau rendah. “Padahal jalan telah dibuka oleh Kanjeng Ratu Shima dan  RA Kartini. Juga selama 30 tahun saya menjadi Ratu Jepara,” paparnya.

Ia lantas memaparkan data, saat ini di Jepara hanya memiliki 7 anggota DPRD perempuan. “Padahal mestinya minimal terbuka untuk peluang 15 orang lebih dari 50  anggota DPRD yang ada. Sebab dalam pencalonan ada kuota 30 % untuk perempuan.  Hal yang sama juga terjadi pada kepemimpinan di desa. “Dari 183 desa yang ada di Jepara, hanya ada empat petinggi perempuan.       Persoalannya, perempuan Jepara tidak percaya pada kemampuan kaumnya,” terangnya.

Menurut Kanjeng Ratu, kondisi ini juga terjadi di pemerintahan. “Dari 22 pejabat eselon 2 hanya 2  jabatan yang dipegang perempuan. Sedang di eselon 3, dari 117  jabatan hanya ada 27 perempuan yang dipercaya. Sementara di jabatan eselon IV, dari 262 jabatan, hanya ada 108 orang pejabat perempuan,” ujarnya. Emansipasi secara hukum memang telah ada, namun masih harus menghadapi tantangan sosial yang berat.

Ratu Kalinyamat juga memaparkan tentang pemanfaatan potensi laut Jepara yang luar biasa besar. Namun sampai saat ini belum mampu memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah dan masyarakat. Nelayan kita tetap miskin.

Karena itu menurut Ratu Kalinyamat, pahlawan tidak boleh hanya dikenang sosoknya dan diingat hanya sebatas balutan acara serimonial. Akibatnya kalian seperti tersesat di jalan yang terang dan kembali mengulang-ulang kesalahan.

“Yang lebih utama adalah menghadirkan kembali gagasan, cita – cita dan spiritnya dalam dimensi kekinian. Karena itu literasi sejarah dan budaya perlu terus dihidupkan “ ujarnya sembari menawarkan kopi yang telah dingin saking asiknya beliau “ngendikan”.

Masih banyak yang disampaikan Kanjeng Ratu dalam wawancara imajiner malam itu. Hanya beliau meminta pendapat beliau adalah off the record, tidak untuk  ditulis.

Penulis adalah pegiat budaya Jepara dan Penulis Buku Ratu Kalinyamat Rainha de Jepara