Ilustrasi. Reka: Wied

Oleh : Gunawan Witjaksana

PENAMPILAN Ganjar Pranowo di tayangan azan magrib di stasiun televisi tak urung menuai kontroversi opini.

Sebetulnya hal yang biasa bila opini publik itu di dalamnya mengundang kontroversi, sebab bila tidak, itu namanya pendapat umum (general opinion), contohnya pendapat tentang keagungan dan kebesaran Candi Borobudur yang tentu setiap orang akan setuju.

Intinya, kalau ada sebuah fenomena lewat media yang selanjutnya viral di media dan menjadi opini publik, maka selanjutnya tentu akan menjadi kontroversi, baik yang mendukung dan menentangnya. Atau baik yang setuju atau pun tidak. Terlebih bila melibatkan tokoh tertentu, termasuk bacapres.

Pertanyaannya, benarkah yang dilakukan Ganjar Pranowo itu adalah politik identitas? Atau benarkah pula yang dilakukannya itu pelanggaran kampanye?

Tradisional Paternalistik

Bila kita cermati berbagai media, utamanya media sosial ( medsos), terkesan banyak yang salah memahami pengertian politik identitas.

Politik identitas atau dalam istilah sosiologisnya sering disebut tradisional Paternalistik, itu merupakan sikap serta perilaku yang membatasi kelompoknya pada patron atau pun tradisi tertentu. Misal seorang muslim harus memilih calon muslim, dan bila tidak dianggap haram.

Orang Jawa harus memilih Jawa, orang NU atau Muhamadiyah harus memilih sesamanya, dan yang lainnya itulah yang disebut politik identitas.

Kejadian seorang muslim yang memilih Ahok yang saat meninggal dilarang dishalatkan di musalanya, itulah antara lain pengejawantahan politik identitas.

Karena itu, fenomena penampilan Ganjar melakukan wudu dan shalat sebagai penguat dikumandangkannya azan magrib, tentu bukanlah politik identitas, dan sebaliknya justru menunjukkan ketaatan seorang muslim, tatkala mendengar azan dan itu perbuatan mulia.

Karena itu pernyataan Wakil Ketua MUI yang menyatakan bukan politik identitas, bahkan beliau mempersilahkan calon lainnya bila melakukan hal yang sama merupakan pendapat yang kredibel karena disampaikan oleh sumber yang kompeten.

Selanjutnya bila ada yang menyatakan pelanggaran kampanye, juga sangatlah tidak tepat, karena hingga saat ini KPU belum menetapkan calon, sehingga siapa pun boleh melakukan sosialisasi dalam bentuk apa pun, serta melalui media apa pun.

Demikian pula dalam tayangan tersebut juga tidak ada ajakan untuk memilih yang dilakukan calon, parpol atau pun tim sukses.

Namun bila itu disebut komunikasi persuasif dengan menggunakan metode asosiasi untuk menarik perhatian khalayak adalah benar, namun hal itu toh tidak melanggar aturan.

Di sisi lain bila masih ada yang bersikukuh ada pelanggaran, biarkan saja KPU, Bawaslu, serta KPI yang akan menilainya, karena itulah ranah serta kewenangan mereka.

Meneduhkan

Kemajuan teknologi informasi memang menyebabkan setiap orang atau pun kelompok menggunakannya sesuai dengan niat serta tujuannya masing- masing.

Namun bagi para elit serta cerdik cendekiawan yang melek komunikasi dan teknologi informasi, sebaiknya menggunakannya untuk mencerdaskan ,serta meneduhkan masyarakat, dan  tidaklah sebaliknya makin membuat gaduh sekaligus membingungkan masyarakat hanya demi justifikasi atau pembenarannya masing-masing.

Alangkah baiknya bila muncul fenomena yang dianggap kontroversi, kita serahkan saja pada lembaga yang kompeten.

Selain itu, mudahnya penggunaan medsos sebaiknya kita gunakan dengan bijaksana, sehingga tidak membingungkan masyarakat awam yang saat ini sedang tergelontor air bah yang makin sulit untuk diatasi.

Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi USM