blank
Liverpool. Foto: li

blankOleh: Amir Machmud NS

// takkan ada yang menyamai/ takkan ada yang menyerupai/ dalam pembeda kutemukan kekuatan/ dari kekuatan terpancar perbedaan//
(Sajak “Karakter Liverpool”, 2023)

KE manakah Darwin Nunez?

Ke mana pula Diogo Jota?

Pun, ada di mana sekarang Luis Diaz?

Tiga nama itu pernah digadang-gadang sebagai cahaya baru di garis estafeta “trio yang sangat membunuh” — Mohamed Salah, Sadio Mane, dan Roberto Firmimo.

Performa pemain asal Uruguay, Portugal, dan Kolombia itu juga membersitkan harapan; suatu saat apabila Mo Salah dan Mane meninggalkan Liverpool, takkan ada problem dalam karakter dan ketajaman barisan penyerangnya.

Nyatanya, tiga pemain itu belum juga nyetel dengan irama The Reds. Rupanya, tak mudah menjadi ikon Anfield Road!

Dan, dalam sejarahnya, lintasan perjalanan klub Merseyside itu memang terhubung dengan simbol-simbol karakter.

Sedikitnya dalam lima musim terakhir, secara filosofis Liverpool identik dengan Juergen Norbert Klopp, yang mengusung gaya “heavy metal” gegenpressing sebagai karakter bermain. Terus menekan, berlari, dan menyerang balik cepat.

Dengan gelar Liga Primer, Liga Champions, dan juara dunia antarklub, Klopp masuk dalam jajaran legenda pelatih di Anfield.

Sementara itu, dalam pancaran kekuatan pada era yang sama, Liverpool identik dengan Mohamed Salah, penyerang dan ikon ketajaman tim.

The Pharaoh hadir dengan banyak atribut unik: level bermain tak kalah dari teknik jajaran elite, inspirasi humanisme Islam di Inggris, pertunjukan kecepatan, dan gambaran kesuburan gol.

Pemain asal Mesir itu mematok “era Mo Salah”. Bersama Roberto Firmino, Sadio Mane, Jordan Henderson, Trent Alexander-Arnold, Virgil van Dijk, dan Alisson Becker dia menjadi kunci dalam melintaskan sejarah khusus bagi kembalinya tradisi besar Liverpool setelah 30 tahun.

Heavy Metal
Klopp lebih suka ungkapan populer “heavy metal” untuk gegenpressing, langgam bermain yang telah menjadi basis filosofis sejak mengarsiteki klub Bundesliga, Borussia Dortmund.

Dengan gaya “rocker” yang liar berekspresi, Klopp menjadi antitesis tiki-taka Barcelona yang dia anggap “mendominasi penguasaan bola tetapi tidak mengekspresikan jiwa bebas”. “Itu bukan olahraga saya. Sepak bola itu pertarungan. Sepak bola saya bukan sepak bola tenang…”

Dengan doktrin itu, Klopp mendekonstruksi opini tentang Arsenal-nya Arsene Wenger, yang dia sebut suka menguasai bola, mengumpan, seperti orkestra, tetapi “Itu lagu bisu,” katanya. “Saya lebih suka heavy metal. Saya selalu ingin berteriak…”

Intensitas itu sangat terasa dalam rentang 2017-2021, namun mendadak stagnan dan “mejan” di sebagian pekan musim 2022-2023. Perpacuan dengan Manchester City dan Arsenal di seperempat akhir musim memperlihatkan “sepak bola posesif Pep Guardiola” punya kunci dalam mematahkan “gaya rocker Klopp”.

Ketika The Reds perlahan-lahan memulih, City telanjur menyalip dan tak terbendung. Dan, inilah momentum ketika mesin gegenpressing mesti kembali dipanaskan.

Henderson dan Fabinho
Atas nama penyegaran, Klopp rela melepas dua pilar kuncinya, kapten Jordan Henderson, dan dinamo tim Fabinho ke Liga Arab Saudi. Sebelumnya telah pergi pula Firmino, Sadio Mane, Naby Keita, dan James Milner.

Untuk memanaskan kembali mesin rock-nya, Klopp mendatangkan Alexis Mac Allister, Dominic Szoboszlai, dan Romeo Lavia. Dia meniupkan spirit untuk memberi energi lini tengah bersama Andy Robertson dan Trent Alexander-Arnold yang belakangan digeser dari bek sayap ke gelandang multifungsi.

Klopp menekankan pressing, pressing, dan pressing. Dia suntikkan aura bermain dengan “rasa marah”. Pemain tidak boleh merasa nyaman, harus berlari lebih ke depan, lebih cepat. Maka skill-lah yang akan mengambil alih.

Gambaran perekrutan besar sejauh ini belum terasa dalam proyek Klopp untuk musim 2023-2024. Cukupkah MacAllister dan Szoboszlai mengisi lubang yang ditinggalkan Henderson dan Fabinho?

Cukup pulakah Mohamed Salah mendapatkan dukungan dari Nunez, Jota, Diaz, Cody Gakpo, dan Harvey Elliot yang sudah lama beradaptasi dengan lengking metal Juergen Klopp?

Atau Liverpool masih harus melabuhkan “rocker-rocker” hebat untuk kebutuhan ekspresi Klopp?

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah