Ilustrasi. Reka: Wied

Oleh Hartono Sri Danan Djoyo

“Saya bermimpi, di suatu hari Pak Jokowi datang ke rumah saya di Cikeas untuk kemudian bersama-sama menjemput Ibu Megawati di kediamannya. Selanjutnya kami bertiga menuju Stasiun Gambir.”

Demikian bunyi cuitan Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Cuitan ini sontak menjadikan publik geger. Sebagian menerka apa sebenarnya tafsir dari ‘mimpi’ itu, namun sebagian justru meragukan bahwa cuitan tersebut merupakan ‘bunga’ tidur SBY.

Dari keduanya, tulisan ini lebih meyakini bahwa SBY tidak benar-benar mencuitkan mimpinya. SBY justru melukis realiskan kondisi kebangsaan kita sekarang yang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Melalui twiter-nya dia mengingatkan bahwa situasi tersebut harus diperbaiki. Dari sekian pihak yang harus bertanggung jawab, SBY memandang bahwa Jokowi, Megawati, serta dirinya  adalah pihak yang wajib andil dan harus mengambil posisi terdepan.

Dengan gaya khas keteraturan dan keterukuran literasinya, SBY mencoba untuk melakukan dekonstruksi realita dan melanjutkannya dengan rekonstruksi idealis atasnya. Dari cuitan awal, tergambar bahwa SBY membuat pengakuan bahwa Indonesia sedang mengalami persoalan kerukunan. Publik mengalami polarisasi dan telah memilih kubu masing-masing. Pesan polaris tersebut tergambar dalam pemilihan tokoh cuitan: Jokowi, SBY, dan Megawati.

Alur kedatangan Jokowi ke Cikeas dan bersama dirinya menjemput Megawati merupakan cara SBY untuk mengingatkan publik bahwa ada nilai transenden dari leluhur yang harus tetap dijaga, yakni menghormati yang lebih sepuh (tua).

Sedangkan stasiun Gambir setting cuitan dinarasikan merupakan teknik untuk mengambil eksotisme aksi hingga yang diharapkan bisa merebut atensi publik.

“Di Stasiun Gambir, sudah menunggu Presiden Indonesia ke-8 dan beliau telah membelikan karcis kereta api Gajayana ke arah Jawa Tengah & Jawa Timur. Karena masih ada waktu, sejenak kami berempat minum kopi sambil berbincang-bincang santai.” Begitu cuitan SBY.

Pada bagian ini Presiden ke-6 Republik Indonesia ini mengajak publik untuk melakukan fast moving proses demokrasi dengan penyebutan tokoh indefinite (ilusif)  Presiden ke-8.

Komplikasi plot (cerita) terpilihnya presiden ke-8 pasti terjadi, namun SBY sengaja menghilangkan bagian yang berpotensi menguras energi publik. Dengan karakter kenegarawan yang dimiliki, dia lebih senang memberikan “mengajak” publik yang untuk lebih menikmati sikap romatis dari presiden terpilih (presiden ke-8) dengan suguhan minuman nikmat.

Seduhan kopi hangat dan pesanan tiket untuk masing-masing presiden pada masanya menghadirkan kehangatan dari sebuah bangsa besar. “Setelah itu, kami bertiga naik kereta api Gajayana yang siap berangkat ke tujuan. Di perjalanan, kami menyapa rakyat Indonesia dengan hangat. Rakyat yang pernah kami pimpin dengan penuh kesungguhan hati. Memimpin bangsa yang tak pernah sepi dari tantangan.”, twit SBY selanjutnya.

Tafsir yang bisa dibuat dari fragmen narasi mimpi ini adalah semangat penyadaran. Diksi “tujuan’ merupakan penyadaran terhadap pribadi ketiganya bahwa bukan kekuasaan yang sepantasnya mereka dekati, sedangkan “Menyapa rakyat” merupakan cara SBY untuk menguatkan vibrasi kehangatan yang diperlukan dalam upaya menjaga kerukukan bangsa.

“Sampai di Solo, Pak Jokowi dan saya turun dari kereta. Pak Jokowi kembali ke kediamannya, saya terus ke Pacitan dengan bus. Sedangkan Ibu Megawati melanjutkan perjalanan ke Blitar utk berziarah ke makam Bung Karno.”, SBY mengakhiri pesannya.

Jokowi, SBY, dan Megawati telah mengukir sejarah pada masanya. Mereka telah membawa Indoneisa sesuai tuntutan arah waktunya. Ing ngarso sung tulodho (di depan memberi contoh), demikian pula ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat) telah mereka tunaikan. Kini tiba saat bagi ketiganya untuk melakukan tut wuri handayani, yang maknanya dari belakang memberi dorongan.

Jelas tidak mudah untuk hadir dengan menggeser posisi peran dari depan ke belakang. Itu artinya harus ada sifat legawa untuk bisa melakukan tutwuri handayani. Libido kekuasaan yang masih sering menggoda saat seorang tokoh mengakhiri jamannya harus digeser dengan kesibukan berliterasi bahwa zaman telah berubah dan cara penyikapannya juga harus berbeda.

Zaman dan generasi yang hidup di waktunya pasti memiliki kearifan untuk menghadapinya, dan tugas ketiganya melantunkan doa bagi keselamatan bangsanya.

Susilo Bambang Yudoyono harus kembali ke Pacitan dan Megawati Soekarno Putri harus  ziarah ke makam Bung Karno. Hal sama harus dilakukan oleh Jokowi. Setelah presiden ke-8 terpilih,  Jokowi juga harus kembali ke Solo.

Indonesia masih berharap peran besar ketiganya. Mereka harus tetap aktif cawe-cawe dalam masalah kebangsaan. Namun demi elok kepatutan diri mereka dan pewujudan cinta pada generasi yang mewarisinya, peran mereka harus dibingkai dalam kerangka filosofis sebagai guru bangsa.

Memayu hayu (merawat) Bumi Nuswantara dengan didasari oleh semangat dan perilaku tutwuri handayani.

SBY telah mengucapkan mimpinya. Maka bisa diyakini bahwa Joko Widodo dan Megawati akan melakukan hal yang sama. Solo-Pacitan-Blitar bukan jarak yang jauh baginya untuk saling berdiskusi telepatis.

Dalam waktu yang tidak lama Jokowi dan Megawati akan menggaungkan resonansi rekonsiliatif bagi Indonesia. Artinya, Indonesia muda bisa bernafas lega bahwa asa (damai) itu masih ada. Anis, Ganjar, atau Prabowo yang akan menjadi presiden bisa tenang  membawa Indonesia mengarungi laut zamannya menjadi bangsa besar.

Hartono Sri Danan Djoyo, Gerakan Jalan Lurus Jawa Tengah