blank
Suasana pelaksanaan UKW yang diselenggarakan PWI. Foto: Widiyartono R

Oleh Amir Machmud NS

blankMENDETERMINASI kompetensi wartawan menjadi dinamika tersendiri bagi organisasi profesi ini. Tak bisa dipungkiri, komitmen sikap organisasi terhadap ikhtiar peningkatan profesionalitas merupakan “mahkota” yang lebih penting dari program kerja apa pun.

Memilih Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai program utama merupakan logika waras tanggung jawab organisasi profesi kewartawanan — seperti PWI — kepada anggotanya.

Begitulah, menurut saya, cara berkhidmat yang tepat, di samping merupakan kewajiban bagi perusahaan media yang memang memiliki tanggung jawab terhadap peningkatan kapasitas kesumberdayaan wartawannya.

Kemanfaatan organisasi profesi sebagai “rumah besar” bagi pengayoman anggota antara lain akan terasa dari sejauh mana peran pengurus organisasi tersebut dalam meng-upgrade profesionalitas anggota.

Artikel ini tidak bermaksud untuk mengulik kembali urgensi UKW, dan logika berpikir secara struktural: mengapa alur ini harus dijalani; namun mencoba untuk memaparkan dinamika-dinamika dan gambaran yang menantang dalam penyelenggaraan UKW.

Berbeda-beda
Dinamika dalam menggelar sertifikasi profesi ini bisa berbeda antarorganisasi profesi yang sama-sama menjadi konstituen Dewan Pers. Bahkan di lingkungan PWI, misalnya, antara satu PWI provinsi dengan provinsi lain juga memiliki dinamika dan tantangan yang tidak sama.

Landasan yang menyatukan pola pikir adalah kehendak untuk memetakan kualitas kesumberdayaan anggota.

Ada wartawan-wartawan yang berkategori mantap dan tidak diragukan layak menjalani profesi ini. Tak sedikit pula yang berkemampuan pas-pasan, yang di-upgrade dengan cara apa pun bahan dasarnya memang sudah seperti itu. Juga ada yang masih harus intensif belajar untuk meningkatkan kompetensi, dan masih bisa diharapkan berkembang.

Kolaborasi kesiapan wartawan untuk mengikuti UKW paralel dengan realitas dinamika usaha medianya. Ketika wartawan siap tetapi secara administratif medianya tidak siap, ya percuma. Begitu pula sebaliknya.

Artinya, dibutuhkan mindset sikap yang sama antara media tempat wartawan bekerja dengan iktikad peningkatan kapasitas SDM yang difasilitasi oleh organisasi profesi. Sikap yang serempak tentu akan memudahkan wartawan mendapatkan dukungan administratif dari medianya berupa syarat-syarat untuk mengikuti UKW.

Dari pengalaman sejauh ini, tak sedikit kesulitan yang dihadapi wartawan untuk mengumpulkan syarat fisik berupa copy bukti badan hukum PT media, surat keterangan pimpinan media, dan semacamnya.

Secara teknis, admin di Sekretariat PWI yang menangani pengumpulan syarat UKW acapkali diribetkan mengelola deadline dari admin PWI Pusat, yang juga terikat batas waktu dari penanggung jawab admin UKW Dewan Pers.

Dalam dinamikanya, percikan konflik kecil pun tak jarang muncul. Oleh wartawan pendaftar, syarat ketat dianggap sebagai kendala yang seolah-olah dibikin oleh PWI provinsi. Padahal persyaratan itu ditetapkan oleh Dewan Pers, yang nanti akan berantai pada status kompetensi yang diformalkan melalui data di website Dewan Pers, sertifikat, dan kartu kompetensi.

Disiplin Wartawan
Keikutsertaan dalam UKW, pada sisi lain juga menjadi pembelajaran administratif bagi wartawan yang dalam praktik lebih terbiasa dengan proses-proses cepat dan (maunya) short cut.

Pengumpulan syarat administratif ini, bagaimanapun beraksen disiplin, karena ada sifat detail seperti pasfoto yang sesuai aturan Dewan Pers, copy bukti karya jurnalistik, surat pimpinan media, copy badan hukum perusahaan media, dsb.

Maka kolaborasi dengan saling memahami kebutuhan kelancaran kerja admin PWI provinsi sangat dibutuhkan dari pendaftar UKW. Apalagi, dalam proses administrasi dan struktur organisasi PWI, kartu kompetensi nantinya menjadi syarat peningkatan keanggotaan ke status Anggota Biasa dari Anggota Muda.

Realitasnya, admin UKW PWI provinsi banyak dikendalai oleh dinamika disiplin calon peserta, yang rata-rata lebih merasa “harus dilayani” ketimbang membantu kelancaran tugas-tugas admin.

Saya seringkali merasakan adanya paradoks dalam UKW ini, yakni antara keinginan untuk menguji kompetensi profetik dengan kebelumkonsistenan wartawan dalam disiplin administrasi. Pada titik inilah reformasi sikap dan kecintaan kepada organisasi profesi perlu dikembangkan.

Konfigurasi Pembiayaan
UKW diselenggarakan dengan konfigurasi pendanaan yang antara satu PWI provinsi dan PWI provinsi lainnya berbeda-beda.

Kalau didanai oleh Dewan Pers, dengan pagu anggaran sesuai nomenklaturnya, maka PWI provinsi tinggal memobilisasi peserta.

Di luar UKW dengan biaya Dewan Pers, penggalangan dana bergantung pada bentuk-bentuk kemitraan PWI provinsi dengan stakeholders-nya. Bisa dari anggaran peningkatan kapasitas kompetensi wartawan yang masuk dalam rencana penganggaran Dinas Kominfo Provinsi. Bisa pula dengan dana penuh dari instansi swasta yang menjadi mitra.

Sejauh yang kami tempuh sejak 2015 hingga sekarang, PWI Provinsi Jawa Tengah belum pernah mengadakan UKW atas biaya yang dipungut dari para peserta.

Kalaupun dalam sejumlah UKW kami terapkan ada biaya mendaftar Rp 150 ribu s.d Rp 300 ribu, biaya itu dimaksudkan sebagai ungkapan tanggung jawab untuk mengiur ke kas organisasi. Juga sebagai bentuk upaya mencegah peserta yang sudah mendaftar tiba-tiba tidak hadir atau menyatakan menarik diri, padahal keterbatasan slot peserta seharusnya bisa diisi oleh wartawan yang masih dalam daftar tunggu.

Jawa Tengah, misalnya, tidak menerapkan biaya pendaftaran yang di luar iuran kecil itu, walaupun logika penyelenggaraan membutuhkan sederet pengeluaran: dari honor penguji, honor admin, biaya paket modul, makan – minum, dan biaya-biaya administrasi.

Tentu tidak bijak apabila ada yang mengatakan, bahwa seharusnya biaya-biaya itu merupakan tanggung jawab dan kewajiban organisasi profesi kepada anggotanya. Bukankah mestinya kita berpikir terbalik, bagaimana memberi kontribusi yang bisa menghidup-hidupi organisasi sebagai “rumah besar” bersama?

Tulisan ini bermaksud memberi gambaran, bahwa ikhtiar peningkatan kapasitas SDM wartawan itu membutuhkan totalitas sikap berkhidmat kepada organisasi profesi.

Kondisi ini membutuhkan pencerahan sikap bersama antara organisasi, anggota, media, dan para mitra kerja.

Rasanya masih dibutuhkan reformasi cara berpikir, agar sebagai anggota kita tidak hanya menuntut dilayani, melainkan memikirkan untuk memberi kontribusi bagi perkembangan organisasi.

Amir Machmud NS; dosen Prodi Ilmu Komunikasi Fiskom UKSW, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah.