Oleh : Hj.Deny Ana I’tikafia
Sungguh ironis, saat berbuka puasa beberapa karyawati dan seorang laki-laki berkebangsaan asing yang diketahui menjabat sebagai manajer produksi di salah satu pabrik garmen di Jepara, saling bersulang miras. Sang manajer kemudian berkilah, ia tidak mengetahui jika pesta bir di bulan ramadhan itu demikian melukai kearifan lokal masyarakat.
“Pesta” yang dilakukan di salah satu rumah makan di daerah Mindahan, Batealit, Jepara ini kemudian viral di media sosial ini juga menampar masyarakat, sebab Jepara dikenal sebagai Bumi Kartini, kota dimana pahlawan emansipasi perempuan Indonesia dilahirkan dan dibesarkan.
Jika kita melihat video yang beredar dan cara mereka meminum minuman beralkohol tersebut, nampaknya minuman itu sudah sudah tidak asing bagi lidah mereka. Sambil tertawa-tawa, mereka saling bersulang oleh sekitar 10 pekerja perempuan dengan manajer tempat mereka bekerja.
Kontroversi pun kemudian muncul. Ada yang menganggap peristiwa tersebut sebagai hal biasa sebab sering melihat anak-anak yang minum oplosan saat ada pentas-pentas musik. Namun ada pula yang menganggap sebagai penyimpangan sosial.
Sementara terdengar kabar, tidak ditemukan unsur pidana dalam peristiwa tersebut. Karena itu, kini harapan tinggal ada pada penegakan Peraturan Daerah tentang Larangan Minuman Keras. Benarkah peristiwa tersebut sebagai hal biasa atau merupakan sebuah penyimpangan ?.
Sedangkan kasus orang asing yang foto setengah telanjang di Bali, disebelah pohon yang dianggap keramat bisa disanksi deportasi sebab tidak menghormati budaya dan kearifan lokal, apa pula bedanya dengan kasus buka puasa dengan minuman keras yang kemudian viral di Jepara.
Peristiwa tersebut bukanlah sebuah perisiwa biasa. Sebab ada relasi yang tidak setara antara buruh dan majikan. Apalagi dalam perusahaan garmen tersebut, pola hubungan itu di jaga demikian ketat. Lalu siapakah inisiator kejadian yang memalukan itu ? Siapakah yang membawa minuman jika memang benar di cafe SS tidak menjual minuman keras.
Perkuat Moralitas
Menyadur salah satu hadis, didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, perlu untuk dipedomani bahwa dengan merebaknya pabrik yang mayoritas pekerjanya perempuan, perlu membekali mereka dengan karakter dan bahkan moralitas yang kuat agar tidak ikut arus, budaya dari luar negeri yang tidak patut dilakukan. Apalagi bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan keagamaan yang ada.
Dibutuhkan banyak peran berbagai fihak, agar tidak terus menjadi kebiasaan ini. Bahkan kemudian menjadi kebiasaban mengikis moral dan iman yang sangat tidak enak untuk dipertontonkan, apalagi dilakukan pada waktu buka puasa bersama di bulan ramadhan.
Harapannya kasus itu menimbulkan jera, agar Kartini muda penerus peradaban bangsa, tidak terseret arus lebih dalam lagi. Mati kita cari pemecahan solusi permasalahan bukan malah menggunjingnya tidak berujung dan tidak berpangka
Kita rangkul bersama, berpikiran positif, menjadikan para karyawati pabrik, menjadi insan perempuan tangguh dalam menghadapi segala jenis peradaban yang dapat merugikan dirinya sendiri, keluarga bahkan negara.
Pihak perusahaan juga harus bertanggungjawab. Mereka tidak boleh hanya mengexploitasi karyawan dari sisi produksi dan ekonomi, tetapi juga harus memberikan pembinaan moralitas karyawan. Sebab bisa saja peristiwa ini hanya seperti puncak gunung es yang hanya nampak puncaknya. Sementara dibawahnya, ada persooalan sosial dan moral yang lebih dahsyat.
Penulis adalah Pengurus Daerah Aisyiah Jepara