Oleh: Catur Pramudito Damarjati
SAYA belajar, untuk jadi sekadarnya di zaman yang membludak “harus segalanya”. Tatkala saya sadar bahwa orang-orang bergerak cepat mengarus kamus populer, perbincangan jadi tampak asing dan makin lumer kemana-mana.
Banyak anak muda enggan bicara dengan kawan yang kerap “tak tahu” soal kejadian tempo atau hari ini, terutama soal-soal viral yang sensasional dan semacamnya, itu biasa. Dan saya sebagai anak muda yang tak banyak tahu itu, lebih menikmati obral basa basi dengan embah-embah bakul kopi. Percakapan ringan penuh guyonan klasik dengan aroma dji sam soe, barangkali jadi keasyikan yang tak lagi hadir di tongkrongan burjo.
Ya, warung burjo atau banyak disebut sebagai warmindo. Lingkar pesrawungan anak muda yang asyik bertransaksi gagasan dan ide. Di sana buah-buah pemikiran jadi perdebatan hangat dan selalu “tinggal” ide.
Ah! Kalau saja burjo bukan cuma panggung sandiwara yang penuh lelucon tak lucu, tak cuma beragregat intelektual mencari pembenaran demi tepuk tangan dan pengakuan semata, pastilah perdebatan jadi tampak berarti. Namun apa daya, burjo lama kelamaan lebih mirip nyanyian sumbang para dewan daripada ruang dialektika anak-anak muda. Perbincangan tak sekalipun menyentuh dimensi fundamental isu-isu besar hari ini.
Jika Tan Malaka berkata bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda, maka akan saya katakan padanya bahwa di masa modern, idealisme adalah komoditas yang laku dipasaran. Menempel di baju-baju anak muda sebagai ciri khas pejuang ketidakadilan.
Para pejuang ini rela membeli mahal kaos-kaos yang bertuliskan quotes Bung Tan Malaka itu, untuk dikenakan di medan laga, mengepal tangan di jalanan kemudian memotret diri dan tak lupa mengunggahnya di segala laman media sosial mereka.
* * * * *
Bung Tan Malaka juga harus tahu, bahwa segala euforia perlawanan itu kerap menggelikan, sebab tak sedikit anak-anak muda yang kebingungan ketika ditanyai perihal pokok permasalahan, hanya “ikut-ikutan” supaya dapat menyemarakkan trending dengan update instastory.
Sepintas, perhelatan demokrasi di kalangan muda mudi selalu tampak riuh dan ramai di jalan-jalan, namun sepi pada ruang-ruang diskusi yang secara radikal membedah berbagai macam persoalan yang ada. Setidaknya lingkar diskusi secara aktif tumbuh hanya pada simpul-simpul kecil kaum pergerakan.
Ironis bukan bung? Di era yang serba serbi ini, martabat dan moral adalah mata uang yang deras membanjiri berbagai dimensi kehidupan. Terutama anak muda, menjadikan mereka tak lebih dari kumpulan komoditi daripada manusia yang berani melawan arus.
Anak zaman sebagai bagian dari ledakan konsumerisme, tanpa sadar telah hidup sebagai komoditi daripada manusia. Asumsi ini tampak sekali dari pola komunikasi yang sarat dengan motif jual-beli. Jual-beli ini tentu bukan cuma barang, tapi gagasan dan ide, seperti cerita heroik tentang idealisme di atas.
Ujung-ujungnya berimbas pada cara pandang, pola pikir dan perilaku yang berpengaruh di berbagai aspek keseharian. Contoh sederhananya ialah hubungan kekancan, bahwa di masa ketika pengetahuan dan modernitas mendewasakan pikiran manusia, banyak anak-anak muda yang menjalin pertemanan karena status sosial, penampilan atau sejauh mana ia mengikuti lifestyle masa kini, yang semuanya itu tak lain dari permainan pasar.
Selain itu, salah satu tradisi manusia modern adalah memperluas relasi pertemanan. Bukan tanpa alasan, salah satu motif dibaliknya yakni, upaya mencari keuntungan dari jaringan tersebut, jenjang karier dan “orang dalam” misalnya.
* * * * *
Akibatnya, tak heran lahir ungkapan “Teman datang ketika senang, pergi ketika susah”. Sebab memang budaya industri membiasakan kita untuk berbuat demikian, dengan memperhitungkan setiap untung rugi bahkan dalam konteks sosial sekalipun.
Realitas industri modern merupakan belantara buatan yang diciptakan para kapitalis, agar manusia melayani mereka dengan membeli berbagai produk yang tak perlu. Dengan alat-alat komunikasi yang mutakhir, segala produk lumer dan manusia menjadi bagian di antaranya.
Terlebih lagi, di belantara digital batas-batas etika dan norma menjadi kabur. Imbasnya, kemanusiaan pun menjadi barang grosir, dan kekancan adalah produk kalkulasi.
Sebetulnya bukan suatu hal yang buruk, mengingat bahwa dunia memang semacam pabrik raksasa, dimana manusia memintal harga diri kemudian membelinya lagi dengan harga yang tinggi: Uang, status sosial, jabatan, dll. Cara kerjanya pun cukup efektif, dengan menciptakan arena tanding yang memperebutkan kekuasaan, membuat manusia berjibaku dengan rasa hausnya sendiri tanpa ada habisnya.
Meski begitu, ada ruang-ruang yang mestinya tak bisa diintervensi oleh kepentingan, seperti halnya ikatan, terutama kekancan. Tapi itu pun gagasan yang mengada-ada. Sebab kita bukan lagi anak-anak yang bisa bermain dengan siapapun tanpa tendensi. Mengingat bahwa kita telah melepas atribut “manusia” dan telanjang di hadapan industri. Membikin tongkrongan jadi arus transaksi semata. Membuka mata sekali lagi, bahwa di ruang sesederhana itu, urusan moral sudah omong kosong.
Pada akhirnya, hidup dalam era industri modern, para milenial Jawa tak lagi kenal ungkapan, “mangan ora mangan kumpul” sebagai sebuah dasar filosofis bahwa puncak dari peradaban adalah ikatan kasih antarmanusia tanpa tedeng aling-aling apapun, mengantarkan kita pada satu kesadaran bersama, bahwa esensi dari kekayaan bukanlah materi, tapi cinta kasih.
Yah, ujung-ujungnya tulisan ini hanya sebatas sambatan, sebagai respon dari hal-hal yang telah jarang hadir hari ini. Karena sambat-pun bagian penting dari menghadapi hidup, agar uneg-uneg menemukan ruang yang tepat untuk bernapas lega. Walau sebentar.
— Catur Pramudito Damarjati, Mahasiswa Fiskom UKSW Salatiga —